Selasa, 14 Desember 2010

KUMPULAN APRESIASI PUISI, KRITIK & ESAI PUISI




Sumber Ilustrasi:


DARI ACEH MENGOLAH REMPAH

(Sumber Esai: http://jendelabudaya.com/?p=134)


Oleh: Heru Emka

Pendekar sastra realisme magis, Gabriel Garcia Marquez, suatu waktu ditanya oleh seorang wartawan muda dari majalah Litera ( sebuah majalah sastra di Kolombia ). “ Bagaimana anda mendefinikan puisi dalam kalimat yang tak lebih dari sepuluh kata ?. “ Poetry is like grasping at the Indefinable, “ begitu jawabnya. “ Puisi bagaikan menyerap sesuatu yang Tak Terjelaskan.

Apa yang diungkapkan oleh penerima Nobel Sastra dalam enam patah kata ini cukup menjelaskan perbedaan antara puisi realism magis ( yang juga disebut sebagai puisi posmo ) dengan puisi Barat modern. Bila puisi dalam tradisi kanon sastra Eropa tampil dalam tema-tema yang kolosal ( Paradise Lost-nyaJohn Milton ), menampilkan tema arus kesadaran batin yang seperti menguak labirin kelam dari kejiwaan manusia modern yang sarat dengan problematika ( The Waste Land-nya T.S. Elliot atau atau sajak-sajak luka-jiwanya Sylvia Plath – terutama pada kumpulan puisinya Ariel yang membuat saya merinding membayangkan luka batinnya yang begitu parah ), maka puisi realism magis memilih jalan yang berbeda, seperti bila kita menjauhi jalan raya, menyisir pinggiran kota, masuki ke semak belukar, menemukan lubang kecil dan…simsalabim, kita seperti si kecil Alice di Negeri Dongeng, bisa masuk ke lubang kelinci, dan menemukan sebuah dunia yang ajaib.
Dalam puisi realism-magis, bunga rumput bisa asyik bercakap dengan belalang, atau gambaran suasana tentang sepotong keju yang mulai busuk dan meleleh yang justru menjadi hidangan sorga bagi bagi para lalat dan larva. Dalam puisi gaya ini, semua yang ada memiliki riwayat hidupnya, bisa dijelajahi hingga ke detil terkecilnya, seperti kalau kita mengupas bawang merah , selapis demi selapis, hingga selubung kulitnya tak menyisakan apa-apa lagi di dalamnya.

Tapi, apa hubungannya dengan Aceh, rempah dan puisi mbeling ? Tentu saja ada, bahkan teramat signifikan pula dengan kolom saya ini. Begini : Rempah adalah rahasia kelezatan masakan para jauhari kuliber dari abad ke abad lamanya , sehingga para penjelajah Eropa rela mempertaruhkan nyawa berlayar sekian jauh, menempuh segala bahaya untuk mendapatkannya di kepulauan Nusantara. Masakan, apa pun njua jenisnya, tanpa bumbu yang diolah dari rempah-rempah, tak kan ada pesona nikmat dunia boga. Dan perempuan Aceh telah lama dikenal piawai meracik bumbu rempah rahasia, termasuk ulekan biji ganja yang membuat masakan gulai sayur mereka jadi nikmat luar biasa.

Dari sinilah saya melihat benang merahnya saat Muhamad Rain, penyair muda yang berbakat, dari Aceh, mengirimkan sejumlah puisi mbelingnya, yang ternyata mengolah tema tentang rempah-rempah. Siapa yang peduli dengan biji ketumbar, sebelum Muhamad Rain menyerap maknanya dalam kata puisi yang seperti ini : “ ketuk aku ulek jadi debu wangi / rajangi dengan kata selamat pagi / malam telah masak / mimpinya terhidang / kutumbal dengan debar! ( Ketumbar ). Rain tak saja membaca ‘biografi’ dari rempah-rempah, namun juga membubuhkan metafora seolah fitur tambahan bagi pengetian sehari-hari tentang rempah ini. Pada lada misalnya, dia memberikan sebuah referensi pembanding pada pedas lada ( lebih pedas mana dari kata cinta? ) sehingga tanpa lada hidup tak menarik jadinya karena pesona pedasnya lada begitu kuat menggoda ( lembek sekali hidup ini / tanpa kepedasan / godaan setan! )

Terus terang saja saya suka saat Rain mengirimkan puisi mbeling yang lain dari yang lain. Dalam berpuisi mbeling, jelas dia tak asal tembak, apalagi asal njeplak, menyemburkan sejumlah kata tanpa perduli berhasil atau tidak menyusun makna, dan menjadi puisi yang asal bunyi saja, seperti yang dikirim oleh seseorang yang merasa’ telah menulis puisi mbeling’, walau jadinya hanya semacam ocehan yang tak berguna. Puisi Rain dengan rapi dipilihnya, satu persatu sesuai obyek yang diminatinya, lalu dia membedah tema itu seketika, sehingga rempah-rempahnya tak lagi benda, namun menjelma kelereng kata-kata yang menggelinding ke sana-sini, bagaimana dia memadankan semngat kemerdekaan dengan lahapnya makan pada sajak Bawang. Dalam hal ini Rain teguh dengan prinsipnya : masak memasak kata / jauhi hidup dari dusta!

Rempah-rempah Muhamad Rain adalah kunci wacana melongok aktifitas manusia yang paling purba : makan, yang bahkan bisa menjadi lambang identitas ( rumah makan padang di luar negeri, adalah simpul bagi identitas kita di tempat yang jauh ) sekaligus seni hidup yang terus dikembangkan oleh peradaban manusia. Bagaimana pun juga, puisi-puisi Muhamad rain yang ikut menghiasi antologi puisi mbeling Suara suara dari Pinggiran membuktikzan ( sekali lagi ) bahwa puisi mbeling – betapa pun disepelekan orang – bukanlah puisi yang asal jadi.


KETUMBAR

ketuk aku ulek jadi debu wangi
rajangi dengan kata selamat pagi
malam telah masak
mimpinya terhidang
kutumbal dengan debar!


LADA

kuku taringnya adalah matamu lada
lebih pedas mana dari kata cinta?

lada membutirkan jiwa
menggoreng tempe taburi olehnya

lembek sekali hidup ini
tanpa kepedasan
godaan setan!


BAWANG BOMBAY

soalnya bukan karena lebih besar
besar seulas wangi memelas
menggiurkan santap hidup tumisan

masak memasak kata
jauhi hidup dari dusta!


PANDAN

seteguk manis senyummu sudah cukup
wangi seluruh jiwa
alir bersama adonan waktu!



MERICA

mesti hidup menyebutnya lada
tak usah hirau tetap mari hidup bercha-cha
pedas manis sunyi menggaya

abu bersin ini muka!


BAWANG

merah putih bukan kemerdekaan
hanyalah pasangan semangat makan
bersama-sama

kebanyakan merah
mana putihnya!


KECAP

berasal dari kedelai
bukan tahi keledai!


TEMPE

selagi tidak ada kemauan untuk tahu
hidupmu ini hanya TEMPE!

sedikit berharga demi kenyang!


LABU

buat apa menanak labu
hidup jadi bubur
mengampaskan luka pilu
bagi diriku.


ASAM JAWA

tak mungkin kurang asam!



RAJANG

sepelangi rempah rempah
langit merajang cinta untukmu
makanlah lewat matamu
sepenuh selera kenyangkan rindu mengangkasa.

Langsa-Indonesia, 6 Desember 2011











Kamis, 23 September 2010

KETIKA PENYAIR KONDANG TAK LAGI NENDANG*
Kritik Puisi di Musim Hujan

Oleh: Muhammad Rain


*KRITIK SASTRA



(Pertama kali disebarkan pada 16 September 2010 jam 9:34 via note fb Muhrain tanpa taq.)


(Sumber: http://www.sastramuhrain.blogspot.com/)


Apa kabar SASTRA INDONESIA?

"Tetap asyiiiik!!" Begitulah ingat bersama kita tentunya, kepada seorang Rina Gunawan yang pernah begitu akrap dalam tontonan tv tempo dulu. Bagaimanakah rupanya kabar karya-karya puisi juga cerpen (waduh, kalau bicara cerpen, rasanya rada tipis kemunculannya) yang makin tumbuh menjamur seliwer berseliweran dalam facebook memang hanya puisi.

Ketika dunia maya membuka tabung serupa corong yang mahaluas, sastra dan penciptaannya di media cyber semakin tumbuh pula bak jamur apalagi memang lagi musim hujan, di bulan September 2010 ini. Seandainya masih ada pihak yang (kecele) merasa ribet dalam memahami Sastra Cyber, Sastra Maya dan entah istilah apa lagi yang seolah hendak memasung para pekarya kesusastraan di media internet. Padahal banyak kekakuan kita dalam menafsirkan suatu karya tak boleh dibatasi media tertentu manapun.

Menyangkut tentang penyair kondang yang tak begitu nendang lagi, ada baiknya yang merasa penyair muda lepas tangan saja, sebab kritik ini tak ditujukan pada kalian sama sekali. Sebagai alergi, alergi dalam artian masih ketar-ketir bagi pelaku muda kesusastraan Indonesia. Barisan nama-nama semakin padat, bahkan bisa dikatakan sastra yang ditulis di ruang maya seolah semakin mengalami obesitas, kegemukan, sarat pelaku namun masih disayangkan belum diimbangi dengan munculnya karya-karya baru yang lebih gress, lebih nendang, orisinil dan membuat mata baca seorang pembaca banyak puisi-puisi sastra Indonesia belum menyolok lekat matanya pada salah satu dua nama.

Lalu apakah kemajuan sastra yang teruploud di kertas digital ini masih menunjukkan keadaan tertentu, berani mengemplang banyak tulisan basi atau bisa disebut pula plagiat manis? Kompetensi bersastra di ruang ini masihlah teramat nyeleneh, sekadar takut ketinggalan, penyair kawakan pun mulai gerah, sibuk dan ngelmu sendiri tentang bagaimana dapat seturut hadir, dapat ikut seturut alir.

Padahal penyair kawakan seperti kelelepan sendiri, sebab betapa nama-nama baru pencinta cipta sastra puisi juga lainnya hampir tak menyisakan masa lengang, setiap detik ada saja puisi baru lahir, baik yang akan bertahan lama dalam perbincangan sesama penghobi komen di facebook, begitu pula bagi penulis yang bermaksud membuat Blog pribadinya guna mengarsipkan banyak karya sastranya yang lahir selama ini.

Ketika pendapat yang menganggap sastra yang beruang maya semakin gigih saja menunjukkan eksistensinya, banyak mata penyair kondang yang harusnya semakin terbuka lebar-lebar, asalkan sebagai syarat utama tak gagap media, gagap eksistensi. Padahal kesusastraan sejatinya adalah teriakan dari suatu sukma anak-anak jaman yang mengasuhnya dengan merdeka pula.

Kungkungan dunia cetak untuk mengukuhkan karya seseorang seharusnya makin menunjukkan iktikad demokratisnya, meskipun barometer eksisnya seorang penyair belumlah beranjak barang semilipun dari situ. Ketika nama besar sastrawan hendak ditabalkan, ternyata media serupa cetakan buku-buku antologi puisi masih sangat eksis dan patut pula diterima dengan lapang dada oleh para penyair muda yang boleh pula disebut sebagai calon pelaku sastra baru, mereka para facebooker yang bersastra harus lebih tangguh lagi, lebih mumpuni lagi, tak takut dikubur waktu dan aroma tema yang banyak orbit bertebar.

Lebih jeli dalam menawarkan makna kebaruan, lalu kepentingan ber"karir" di ruang maya, agaknya layak dipertahankan, sebab di sini pelajaran datang dari mana saja bahkan sama sekali tanpa diduga, ada saja jempol yang menyemangati calon puisi yang dilahirkan jemari katanya.

Bandingkan pula gerakan lasak pelaku sastra terdahulu kita dengan nama-nama yang tak banyak bahkan bisa dihafal di antara minimnya penyair kondang yang masih eksis. Kita ambil dua saja yang bandingannya cukuplah mumpuni, layak dan teruji, seorang Isbedy atau seorang Soni Farid Maulana. Betapa dua sahabat sastra kita ini cukup ideal untuk ditiru, diapresiasikan terus eksistensi mereka terhadap kesusastraan kita.

Keduanya yang memang kondang barangkali tak layak kita sebut tak nendang lagi, karena betapa kehadirannya amat menyemangati, terlepas intensitas putaran taq, komen maupun penulisan status (FB) keduanya dalam fase keintiman bersastra di laman FB. Sedangkan tulisan ini, sama sekali tak ditujukan untuk promosi nama-nama. Bukankah Isbedy dan Soni tak butuh dijilat-jilat, apalagi oleh bukan penjilat.

Padahal masih ada beberapa yang kondang lainnya yang terus saja anteng jalan, tak kelabakan meminang hubungan dengan penulis muda didikan mereka pula. Misalkan setiap bimbingan yang diberikan bisa saja untuk diri mereka sendiri. Semua penyair sudah tahu, bangsa sastra harus terus tumbuh, tak boleh terikut uzur.

Nah di sinilah sebenarnya tawaran tulisan kripik pedas manis ini ingin disampaikan, yakni kepada banyak sastrawan yang tak lagi dapat disebut muda, agar beri jalan dan luaskan harapan untuk yang baru yang juga yang diharapkannya dapat tumbuh lebih eksis suatu saat. Ketika persaingan sastra tumbuh sehat dalam bimbingan bersama, maka sastra boleh layak disebut berjaya. Semoga.

Berikut kritis endemik yang ditawarkan tulisan ini bagi mereka yang kondang agar terus nendang:

*bukalah hati kalian agar tak jemu membimbing sebagai guru, bukankah dulu ini yang dimau, yang diimpi: ketika sastra punya harapan yang lebih besar dibanding jaman yang telah lewat.


*pahamkan bagi anak-anak muda pejuang baru sastra kata kita, tentang bagaimana orisionalitas itu dapat terjaga dengan cara menjauhkan enigma penyelusupan paham, endusan gaya dan klepto ide yang tak boleh disuntik bius ke dalam aorta penikmat baru sastra kita, sehingga mereka benar bisa memilih dalam merdeka, bukan dalam paksa-paksa dalam duga semata. Ketika lahir, setiap penyair ingin punya tabalan nama sendiri, tak suka infus-infusan apalagi ide yang diselusup itu cuma profan dan ambisi yang dulunya tak tercapai. Terimalah nafas baru sastra kita secara lapang.

*Lebarkan sayap kubu jika memang masih layak demi penyelamatan, tetapi boleh pula seberan-menyeberang itu, jangan diusir apalagi dicibir, padahal kegamangan adalah ujian. Biarkan saja para generasi sastra yang baru mereka mere'ka sastra sendiri.

(Kalau ada manfaat syukurlah, kalau tidak berkenan lupakan dan tulis karya bandingan. Terima kasih.)


Salam Sastra Selalu









Selasa, 07 Desember 2010
MENGAPA ORANG MENULIS SAJAK
(Telisik Tanya Sastra Puisi dan Jawabannya)
Oleh: Muhammad, S. Pd


Mengapa orang menulis sajak? Tentu jawabannya beragam dan tak terbilang. Betapapun jika kita hendak merunut awal penciptaan bahasa (tulisan) tentu jawaban pertanyaan ini sederhana sekali, yakni orang yang menulis sajak bermaksud untuk menegaskan bahwa dirinya pernah ada dan keberadaannya di dunia tulis-menulis ia nyatakan lewat berkarya (menulis sajak) dan tujuan ini sebagai kehendak positif setiap manusia, dengan berkarya dan memberi arti bagi kehidupan dirinya, lingkungan dan bangsa bahkan dunianya. Ketika orang memutuskan menulis, ia telah berikhtiar hendak mencoba mencermati dua unsur yang melingkupi dirinya yaitu dunia nyata yang dijalani dan dunia imajinasi yang selalu dihidupkannya lewat karya-karya sajak.

Orang menulis sajak untuk menorehkan isi hati secara proporsional tanpa bermaksud menerapkan potret kaku di setiap keberagaman hidup yang digeluti sehari-hari, menjadikan sajak sebagai rekam jejak ide dan pemikiran dalam berkesenian sastra. Orientasi menulis sajak secara umum perlahan menuju kekhususan yang diminati setiap pesajak (penulis sajak). Melahirkan sajak guna mengisi relung kosong bahasa pikir, bahasa awam, bahasa teoritis, bahasa retoris belaka yang pada akhirnya segera terlupakan ketika kenyataan-kenyataan melulu berubah. Kehidupan selalu mencari muara untuk menempatkan penulis sajak mencermati perjalanan batiniah yang tersampaikan lewat ilustrasi, deskripsi bahkan pola keragaman penyampaian ide kreatif sajak bisa saja berlompatan tanpa sanggup ia hambat sendiri.

Kekakuan kehidupan dapat segera mencair dengan menulis sajak. Setiap kesempatan lengang, menulis sajak menjadikan keadaan penulisnya lebih menyadari arah dan orientasi keberadaan selama ia hidup, menengahi segala problema yang kerap menggelisahkan alam jiwa dan pikiran penulis. Padahal keadaan tidaklah selalu harus dikhawatirkan, tak juga selalu berbenturan antara ide-ide orang lain dengan dirinya. Penulis sajak senantiasa gelisah, namun bukan disebabkan karena ia tak tenang dengan dirinya, tidak menerima realita yang melingkupinya, tetapi kegelisahan ini tak lain karena penulis sajak selalu dengan tulus ikhlas berkenan mengambil pelajaran kehidupan yang mungkin bagi orang lain tak terlalu acuh dan terpikirkan. Penulis sajak selalu mencari saripati nafas hidupnya dengan menggali-kaji keadaan, lewat karya sajak ia mencoba menawarkan dunia lain yang lebih baik, lebih mencerahkan juga menawarkan jalan keluar terhadap keadaan-keadaan yang kerap membelenggu manusia dari kejenuhan persaingan kehidupan, potensi-potensi yang mudah membuat jiwa menderita dan penting pula mencermati sajak sebagai suatu santan perah murni dengan meminum hikmah setiap gelas yang ditawarkan pesajak.

Orang yang mendapati karya-karya sajak sebagai barang biasa yang dianggap bisa dibeli, bisa dibungkus lalu dibawa pulang sebagai oleh-oleh dari penulisnya tentu perlu menyadari bahwa sajak bukanlah barang, bukan benda yang mati dan kaku. Tetapi perwujudan karya sajak adalah hidup, hidup yang sering tinggal di pikiran pembacanya, menjadi kenangan bahkan hafalan sebagai lorong peta kebijaksanaan. Sajak dapat pula menyadarkan pembacanya agar sudi menghargai limit sekecil apapun yang dihadiahkan bahasa, penulisan yang padat dan tak boleh membuat penat dengan itulah sajak semakin memberikan arti bagi pembaca.

Akhirnya dengan menulis sajak, orang tersadar akan gunanya bahasa bagi kehidupan, pembaca menjadi terhibur bahkan memperoleh pencerahan, sebab sajak yang dihasilkan harus pula menawarkan kesuburan hati dan keriangan pikiran yang mencerahkan. Potensi sajak dapat juga menjadi penyokong jiwa pembaca yang sedang gundah gulana, bersedih hati, buntu pikiran dan tak jarang sering menyalahkan keadaan bahkan sampai uring-uringan malas menghadapi kehidupan yang tak bisa ia tolak. Sajak membuat kehidupan lebih punya makna dan menjadikan pembaca benar-benar haru terhadap kegagalan dengan bertahan dan terus berjuang. Terlepas dari kesemuanya ini, dunia sajak yang inspiratif bisa pula membuat penulis memperoleh royaliti dan kebanggaan tersendiri lewat menerbitkan karyanya, meskipun ia sadar, seni bahasa lewat sajak sesungguhnya taklah dapat dibayar lewat setumpuk uang dan kepopuleran belaka. Begitupun penulis sajak bisa semakin berteguh diri dalam menjalani profesi batiniah ini, dengan harmonisasi dan belajar dari kegagalan banyak penulis sajak, keberlangsungan bersajak dapat terus digali untuk tidak sampai mengalami kegagalan lewat berkarya terus dan berkembang.

Mengapa orang membaca sajak? Sesungguhnya jawaban ini hampir sama dengan mengapa pula ada orang yang mau menghabiskan waktu membaca tulisan umum seperti surat kabar, majalah, tulisan digital di internet dan lainnya. Orang perlu membaca agar ia tidak kosong. Ia mengisi waktu dengan memperoleh banyak ide dari tulisan media cetak dan elektronik. Membaca sajak juga sesungguhnya serupa dengan membaca kehidupan yang malah lebih luas, lebih dalam dan memperoleh nilai keindahan pula sekaligus sambil menyiasati keadaan yang kadang membuat ia bosan, jenuh dan kurang segar dalam kehidupannya.

Menulis dan membaca sajak adalah pekerjaan berfaedah yang perlu terus dilangsungkan bagi keseimbangan dua alam dunia yang melingkupi kehidupan manusia, dunia lahir yang seimbang dengan dunia batin. Pemenuhan kebutuhan dua alam dunia ini dapat membuat manusia menjadi seimbang dan berkecukupan sebab secara kordat harfiah, manusia lahir dan berdiri dalam dua bangunan ini. Menikmati keadaan dengan menggeluti bacaan dan tulisan sajak sangatlah bermanfaat, sebagai apresiasi terhadap kehidupan kita sendiri. Orang yang menghargai dirinya tentu memandang sajak bukanlah sebagai barang mati dan tidak berharga, sebab dengan berbahasa (bersastra) manusia berpikir dan dengan terus berpikir ia akan selamat dan mengkhidmati keberadaan dunianya secara bijak, memperoleh tenaga batin yang senantiasa tercerahkan. Kebuntuan pikiran harus dihindari sebab manusia menjalani kehidupannya berawal dari pola pikir, dengan mengkhidmati nilai-nilai yang luas dari sajak, orang-orang terbangunkan dari luka hidup. Unsur komunikasi ide dan keindahan penyampaian karya sajak turut pula melengkapi kegunaan sajak bagi kehidupan, lalu pertanyaan terakhir : Apakah Anda sudah membaca/menulis sajak hari ini? Pertanyaan ini sama pula dengan : Apakah Anda sudah berbahagia hari ini? Ya, sebab sajak harus membahagiakan. Lalu dengan bahagia orang bisa berjaga dan terus bersyukur atas kehidupan yang dijalaninya.



*Penulis adalah guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 4 Langsa-Aceh, beraktifitas pula sebagai dosen luar biasa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia di beberapa Perguruan Tinggi Swasta di Aceh.



Sumber:

http://www.muhrainarsipbahasadansastra.blogspot.com/











MEMBACA NUREL JAVISSYARQI*
(Sahabat Baruku)


Oleh: Muhammad Rain


*KABAR SAPA SASTRA


Membicarakan kesusastraan sepertinya semua penulis puisi akan suka dan tertarik, nyaris tanpa embel-embel ngarep. Ngarep nama-namanya disebut dalam kupasan selentingan bidang sastra itu. Termasuk pula sahabat baruku Si Nurel ini, saya pikir beliau tak ada sedikitpun niat ngarep disebut-sebut namanya dari mulut kata Muhrain. "Si" yang saya maksud sebab saya merasa sok akrab saja, begitu.

Tulisan berupa sapaan belaka ini dengan maksud menuju pemikiran tentang apresiasi karya Nurel yang telah saya peroleh hasil kiriman hibah Saudara alias Sahabat baru kita ini, "kita" bermakna bahwa sahabat pembaca adalah sahabat saya, sahabat saya adalah sahabat kalian.

Meskipun sudah hampir seminggu memegang "Kitab Para Malaikat (Puisi Nurel) dan Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (Esai Kritik Nurel)" namun karena masih terus di jalanan menebas Medan, Banda Aceh dan Sabang (jelang akhir Mei dan awal Juni 2011) , buku ini belum berhasil saya tamatkan. Alias baru setengah halaman belaka. Jadi tak ada yang tuntas tentunya jika saudara pembaca menuntut saya menjawab isi keseluruhan buku tersebut yang berhasil terinsyafi.

Melangkah pada kebermaknaan kehadiran Nurel dalam kawasan pemikiran saya, sebagian dari cara Nurel menulis isi batin-pikirannya terhadap sastra secara umum, ada letupan tersendiri yang terasakan terutama dalam kehadiran sosok penyair di lingkup kesusastraan kita (baca Indonesia). Konsep rahmatan lil alamin sepertinya khatam kita baca lewat karya-karya Nurel. Pemahaman tentang dogma yang muncul dari kehadiran mantra ala Tardji, disusul ide "kemalaikatan" lewat "Kitab Para Malaikat"-nya Nurel tersendiri, lalu dengan cucuk hidung saya katakan bahwa kesusastraan memang sedang dan selalu butuh karya baru.

Persoalan ingin yang baru memang sudah menjangkiti dunia seni sastra sejak matinya penyair besar Chairil Anwar, apalagi disusul W.S. Rendra dan berdiangnya banyak penulis baru sastra Indonesia terutama bidang puisi yang berkutat dalam kawasan putaran roda di tempat. Mengapa saya katakan berotasi di tempat? Saudara pembaca sudah tahu, apakah ada yang baru dari dua nama tersebut, oh ya, ada Afrizal Malna, Seno Gumira A., Agus R. Sarjono, Dimas Arika Mihardja dll. yang konon bagi saya belumlah mencucuk hidung rasa seni sastra saya selaku penikmat mereka (murni subjektif belaka). Saya terus jadi ingat bahwa persoalan bangsa kita masih sama sejak ditinggalkan Rendra, persoalan salon sastra, penyair salon, pamflet darurat, kegelimpangan pembodohan dan berbagai kertas kerja yang repetitif belaka sejak angkatan 60-an termasuk nama Taufik Ismail yang akhir-akhir tahun lalu sering dapat kritik kehadirannya sekedar mendirikan perusahaan kesusastraannya belaka. Mengapa sebab demikian saya katakan belum ada yang baru di sastra puisi kita? saudara sudah tahu.

Lalu menyinggung kembali konsentrasi Nurel dalam essainya tentang Tardji, apa yang penting? Kenyataan lahirnya penyair ke dunia memang harus bersandar pada rahmatan lil alamin. Persoalannya apakah penyair itu sendiri telah seolah berupa rahmat bagi dirinya terlebih dahulu, apakah hadirnya diri dalam kawasan puisi (sastra lebih luas) mampu merubah buruk dirinya jadi baik yang diukurnya sendiri dengan insyaf. Lalu tafsir serupa bisa kita gurah lewat wahyu ilahi, "jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". Apabilakah ucapan, tulisan, karya sastra mampu menghindarkan kita dari api berisi iblis laknatillah ini? Sepertinya kerja menyair tak sama bagai tukang sulap yang menipu dan kita sebut seni, macam menipunya koruptor namun tak pernah begitu menyeninya sehingga membengkalai keremajaan pembangunan manusia Indonesia.

Saya tak paham sastra, bukan saja karena belum lulus di fakultas sastra atau menjadi guru besar di bidang ini, namun seperti banyak ragam orang yang melalui jalan tempuh demi menikmati bahasa dan mata batin sastra, saya kira saya masih dahaga. Ketika orang ingin inovasi, dia akan selalu memerlukan modal untuk membeli apa yang diciptakan oleh penyair itu. Pepatah yang segar seperti "jadilah tangan di atas sebab lebih mulia dibanding tangan di bawah". Dengan begitu kekosongan identitas sastra puisi baru kita dapat dimungkinkan. Saya menulis banyak puisi sekedar percobaan seperti yang saya kutip dari omongan (komen fb) Dimas Arika Mihardja, belum lagi mendapatkan ceruk tempat karya itu menyaruk dan mengajak pejalan ramai mau sekedar melongok atau bahkan ikut masuk ke dalamnya dan berlama-lama. Namun pemikiran terus berjalan sebagaimana hidup, seperti yang saudaraku dengan jamak alami pula.

Bagaimana tanggapan sesungguhnya setelah dengan sangat sedikit mengenal sosok Nurel? Jawabannya: saya hanya penuh curiga, apa maunya orang ini di dunia sastra kita?, mengapa banyak bukunya baru saya dapat dua, di Aceh memang amat ketinggalan soal karya sastra baru, buku yang beredar di kantung-kantung sastra di Jawa juga kepulauan lain macamlah menunggu bara hanyut, itu sentilan saya dengan maksud mengatakan saya harus jemput bola demi tahu sejauh mana putaran roda sastra Indonesia itu beredar berpendar di kawasan Indonesia yang maha luas ini.

Nurel masih sangatlah baru yang tersebut di bibir ini, itu saya akui, puisi-puisinya panjang tak ketulungan namun semacam menemui angin laut yang sepoi dan kadang menyegarkan di pulau Sabang, keras dan penuh asin. Garam yang ditawasnya dalam setiap bab Kitab Malaikatnya itu berhasil membuat saya curiga, jangan-jangan ia (Nurel) lebih mirip filsuf dibandingkan penyair, sebab bagi saya itu amatlah beda, menjadi filsuf punya akar baca dan akar faham yang mumpuni, menjadi penyair hanya perlu aral dan pedang tinta juga sedikit gontok-gontokan dengan pihak pengelola taman budaya juga penerbit setempat plush membidani perawakan gondrong, energik, sangar dan terkadang malah memuakkan pemerintah akibat rewel menggelisahkan kekuasaan (itu sich penyair label alias tampil untuk proyek esek-esek sastra panggung, sastra bahenol kalau tak mau dibilang sastra nol). Beda tentunya dengan faham bagaimana sejatinya menjadi penyair yang dikupas meski belum habis oleh Nurel lewat karya essainya menggugat Tardji itu.

Lainnya belum dapat saya tawarkan pada kalian sidang pembaca coretan sore ini, 6 Juni 2011, sebab saya memang masih sangat sibuk bertanya, mengapa yang terbit tak pernah merasa redup dan mengapa yang redup belum lagi mampu membuka diri menuju putaran jaman kesusastraan yang makin menggoda di depan. Jangan ikut kalau takut, jangan marah kalau gerah, dan jangan seorang Nurel saja, misalkan kita masih mau menghirup nafas kesusastraan lebih gairah dan penting. Pentingkah masih sastra itu, puisi itu? Kita akan jawab bersama lewat terus berkarya. Salam takjim pada Nurel Javissyarqi. Meski saya tak pernah janji mau menulis namanya pada kenangan, sebab saya tak bisa melupakan sentilan-sentilan ala Javanya dalam dua bukunya belaka yang telah saya punya. Terima kasih Nurel, salam pula kepada segenap pembaca Muhrain.









Sumber Ilustrasi:

http://balerancage.files.wordpress.com/2011/01/prasastikawali.jpg



BERKESENIAN HANYA DENGAN KATA-KATA*

Oleh: Muhammad Rain


*SAPA KABAR SASTRA


Kurun waktu kini, banyak hal yang menggelisahkan kehidupan kita, harga cabai, sesaknya antrian BBM subsidi, ketakutan ledakan kompor gas, kegelisahan yang kadang tanpa kita sadari seperti api dalam sekam. Saat seperti ini puisi lahir sebagai salah satu alat, kreasi dan cara berkesenian yang hanya mengandalkan kata-kata. Menarik memang menanggapi banyak soal yang muncul justru hanya lewat kata-kata. Peristiwa sehari-haripun tak luput dicerita-kisahkan dalam karya sastra jenis ini.

Bagaimana sikap kita ketika sastra puisi menjadi biasa dan kehilangan tenaga batinnya? Selaku salah satu pencinta sastra jenis ini, kita patut mengantungi kiat tentang kritik tajam bahwa dunia puisi hanya bakal jadi dunia penuh hayal, dunia yang kering dan jauh dari kenyataan. Wajar sekali sikap seperti ini muncul, tak perlu gelisah dan mencari-cari siapa salah. Di dalam bidang sastra, kritik sastra justru bertujuan mempertinggi nilai intrinsik karya puisi, ia mengkritisi sisi tema agar lebih menyegarkan mata batin pembaca puisi(nya), ia mengkritisi diksi(gaya bahasa) agar menempatkan makna baru dalam repetisi rutin pemunculan diksi sama, atau bahkan mengarahkan para penulis puisi agar mau membuka kreasi mencipta kata (diksi) baru. Sudah tentu, masing-masing cabang/bidang sastra itu sendiri memiliki potensi positif untuk membangun dunia seni sastra yang menjadi konsentrasi pekarya, pengkritik, esais dan bahkan apresiasi luas terhadap sejudul puisi sekalipun.

Keutamaan dalam berpuisi lahir pula dari kebijaksanaan dalam memandang kehidupan. Menitipkan bekal untuk masa depan maupun merefleksikan jauh sudah perjalanan hidup yang tercapaikan. Apa yang kita kenali dengan rasa syukur terhadap nikmat diberi hidup baik fisik maupun batin. Ternyata kita tak bisa melepaskan mimpi-mimpi kita dan bahkan banyak orang malah menjadikan mimpinya sebagai tujuan di dalam menjalani rutinitasnya sebagai manusia. Ketika orang berhenti mengajarkan dirinya dengan berefleksi misalkan lewat seni puisi, atau bernyanyi misalkan di seni musik, saat itu mereka merasa dirinya hidup tak lagi sempurna, merasa bahagia tak lagi sepenuhnya.

Kenihilan dalam karya seni sering sekali terjadi pada sikap manusia kamar, manusia pabrik, manusia perintah, manusia tukang gerak dengan mengandalkan rutinitas sebagai satu-satunya cara menikmati hidup mereka. Kebutuhan lahir banyak sekali terhidang di dalam jagat dunia kita, namun kebutuhan akan terpenuhinya kepuasan batin, jiwa, rasa perasaan, hilangnya kegelisahan, tercapainya rasa syukur ada juga tersedia meski tak sebanyak ragamnya pelayanan kebutuhan fisik itu antaranya adalah dengan adanya agama, tempat manusia membaktikan iktikad ruhnya dalam mencapai keridhaan Tuhan, negara, tempat manusia membaktikan perjuangan demi arti tugas dan tanggung jawabnya, seni, sebagai kantung-kantung penuh ragam demi mencurahkan segala cipta-rasa-karsa kreasi dalam pencapaian keindahan bahkan kebahagiaan, budaya, sebagai sikap patuh dan taat terhadap ketentuan bersama yang sama-sama digugu, diacu dan dibiasakan serta hal-hal lain yang menggerakkan mata batin juga nurani manusia agar terus dapat tumbuh seiring berkembangnya jaman.


Seni kata-kata yang menjadi modal utama mencapai keutamaan karya sastra puisi selanjutnya memerlukan pengarahan secara konvensional belaka. Paling tidak bahasa kata-kata itu harus komunikatif, mampu mensugesti sehingga bisa/dapat mengalirkan kesan-kesan tertentu dari apa yang dirasakan penulis puisi kepada pembacanya, mampu membuka corong sikap yang nonformalis yakni tidak ada pemaksaan kata-kata, mampu mencapai kodrat bahasa itu sendiri. Apakah kesulitan yang dialami penulis puisi dapat diatasi secara sederhana tanpa perlu mereka (para kreator kata-kata puisi) dicubit pipi oleh para kritikus sastra? Dan bagaimanakah kehendak kata-kata itu sendiri dalam melahirkan, menjadi induk penciptaan sastra puisi, pentingkah membela kata-kata itu meski padahal ia benda mati, benda sifat, benda huruf, benda dialektik, benda kontroversi?. Bahasa pada dasarnya datang seiring datangnya manusia ke dunia. Begitu ia lahir manusia ada, begitu seorang bayi manusia nongol ke dunia ia sudah dilengkapi sensor berbahasa. Dalam sejarah bahasa justru bahasa lahir sebagai pembeda antara kita (manusia) dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Tanggung jawab mempergunakan juga mempermainkan bahasa (kata-kata) dalam kehidupan seperti melalui puisi menurut prinsip Islam sangat penting. Kita bisa cermati dari salah satu hadist nabi yang mengintruksikan bahwa jangan berkata “ahh!” pada ibumu, sebab itu adalah durhaka. Sumpah palsu juga sangat berbahaya, fitnah dapat mendatangkan malapetaka dan segala undang-undang ciptaan penguasa yang justru membunuh masyarakat negerinya dari kata merdeka, itupun sangat meresahkan dan membuat bahasa (kata-kata) menjadi menakutkan, tak lagi dapat mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman jiwa.

Politisisasi bahasa pernah terjadi di negeri ini, dulu ada Manikebu, ada Lekra ada tuntutan potitisasi bahasa. Dalam ranah jurnalistik terdapat pula cengraman kata-kata lewat dibradelnya penerbit Tempo, demi atas nama kekuasaan Orba. Di masa reformasi saat ini masihkah kita temui kejanggalan dalam terbinanya kebijakan berbahasa kita? Sisi lemahnya sikap penghargaan terhadap kesejatian manusia yang sedari sononya sudah punya bahasa, penting sekali disikapi bijaksana. Padahal tidak setiap makhluk hidup memiliki anugerah seni berbahasa. Tulisan-tulisan bertebar di mulut dan kedalaman gua. Granit di Mesir, tulisan Jawa Kuna di candi-candi di pulau Jawa, kitab-kitab sejarah yang ditemukan dalam rentang jarak dan waktu tak henti, dan maha luasnya penempaan bahasa manusia sejak abad-abad lampau itu, tak lain ingin mengabarkan kepada kita makhluk manusia millenia, peliharalah kata (bahasa) itu, kabarkan yang baik-baik, nyatakan/kisahkan prahara, amarah sebijaknya. Mengutip apa yang disampaikan HB. Jassin bahwa jikapun penulis sastra hendak menceritakan emosi, ketegangan moral dalam karyanya maka sampaikan/tuliskan tanpa embel-embel emosi pribadi penulisnya.


Berkarya seni dengan hanya mengandalkan kata-kata akan dapat mencapai keutamaannya jika disikapi secara tepat. Unsur-unsur yang membidani kesenian berkata-kata seharusnya mendapat tempat. Kebablasan dalam berkesenian ini semestinya dapat sama-sama kita hindarkan. Sejak bahasa Melayu menjadi Lingua Franca di wilayah pesisir Asia Tenggara, konsep Melayu sebagai bahasa santun mencapai kejayaannya pada masa-masa kesusastraan lama. Di masa kini orang masih suka berpantun, para politikus pun masih mengandalkan kesantunan bahasanya meski sarat tujuan dan berpijalin dengan kehendak kekuasaan. Bahasa Indonesia yang punya akar dari bahasa Melayu tak pelak masih mencirikan ke-Melayu-an ini, kendati sikap Charil Anwar dalam berbagai karya sajak/puisinya mengemukakan perlawanan terhadap pola ucap, tenaga kata dan mungkin baginya Melayu sudah harus diperbaharui, namun keindahan, keselarasan bunyi ke-Melayu-an itu sesungguhnya terus saja membayangi puisi-puisi sastrawan, penyair, novelis Indonesia, sadar atau tidak sadar.

Sikap orang yang dewasa turut terlihat lewat bahasanya. Tulisan-tulisan yang bersebaran di serata media cetak, seperti majalah dan surat kabar sejatinya ingin memelihara karya seni sastra puisi itu. Fungsi bahasa sebagai alat ucap jamannya tentu mendatangkan tidak hanya manfaat namun juga muslihat. Kendaraan kata-kata demi tercapainya ketinggian mutu karya sastra puisi selalu diusahakan semakin maksimal, karena seni memang mengejar kepuasan dengan bermodalkan ketidakpuasan. Sebab ketika penyair, penulis puisi merasa sudah cukup puas, maka kata-kata akan berhenti dan menuju kejumpuannya, kejenuhannya yang tak lagi memurnikan sikap dini dalam menyikapi persoalan manusia yang justru tak ada habisnya. Nasib seni sastra puisi bisa menjadi lemah dan bersiap-siap hanya ditulis oleh dinding-dinding gua, seni puisi mati dan tamat.

Kata-kata terkadang datang bagai badai masuk menyelimuti kepala manusia jika yang ia tawarkan adalah kesesatan, prinsip hidup yang bimbang, kenyataan yang tak mampu ditafsir lewat jiwa apalagi akal manusia yang nyata-nyatanya terbatas. Hadirnya terjemahan-terjemahan dalam menyingkapi keadaan/peristiwa besar bahkan menjadi sejarah sebagai catatan ikhtibar. Dalam puisi sebagai salah satu cabang seni terasa sekali kemajemukan itu dapat terjadi. Riwayat yang terwarta bahkan dalam dunia imajinasi dapat ditoreh penulis puisi lewat kata-katanya dengan membingkisanka kata sebaik-baiknya, seindah-indahnya. Sikap dan sifat manusia pada dasarnya mencintai keindahan, sebab sebagai hasil ciptaan Tuhan yang mahasempurna lagi mahamengetahui faedah adanya jagat raya, seni dan etika , seni dan moralitas, seni dan agama, seni dan kebudayaan pada ajjalinya menjadi rapal hafalan bahwa manusia itu pencinta keindahan, tercipta indah dan menjadi rahmatan lil’alamin justru ketika bahasa (kata-kata) yang ia toreh lewat karya puisinya menjurus ke ranah ini, ranah indah yang memanusiakan manusia sepantasnya.


Semoga. Salam sastra dan budaya, tetap eling dan jangan bangga dengan sikap edan.

Terima kasih.










Sumber Ilustrasi:

http://imageshack.us/photo/my-images/546/blanktfrontfull.jpg/


PAKAIAN BAHASA*

Oleh: Muhammad Rain

*Esai Sastra



Di antara banyaknya pengguna kata dalam dunia sastra puisi, pakaian kata tentu berganti-ganti dipakai oleh penyairnya. Tuntutan adanya variasi akibat keseringan menggunakan kata yang sama disokong oleh pengaruh yang ingin menjembatani penulis puisi (penyair kata-kata) agar bahasa yang diramunya dapat terus terasa segar saat dibaca. Harapan puisi dapat mengalir seiring berkembangnya mode kata-kata selalu ada di setiap even penulisan. Dekade setelah reformasi, lemari kata-kata makin ramai dipenuhi oleh rujukan modernitas pengucapan. Bahasa (kata) yang biasa disusun ulang itu selanjutnya mempertemukan kemungkinan-kemungkinan pemaknaan baru, pola susunan putar-balik, transendent dan revision dari kedua sisi yang melingkupinya, baik secara ejaan maupun semantiknya.

Konsep kata pada dasarnya berunsur konvensional. Penyair tidak menulis untuk kalangan biasa, selanjutnya pakaian umum kata ini (kata bermakna lugas) dibordir, digosok dalam lajurnya yang baru, ditambah personil asesorisnya guna mempertinggi nilai abstraksi hasil penafsiran prismatis yang kelak dikehendaki penulis jika puisinya diapresiasi secara maksimal kelak, baik oleh pembaca umum apalagi kritikus yang eseis pula. Marilah kita cermati beberapa tanda pengubahan pakaian kata yang berusaha dikreasikan oleh penulis-penulis puisi berikut ini.

Penyair Satu

Judul Puisi: aku, setan, dan tuhan
Judul Antologi: Putri Berkicau
Karya: Putri Sarinande
Penerbit: Pustaka Kemucen
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 26


ibuku pernah bilang bapaku sudah mati
ibuku juga bilang bapaku itu setan
padahal bapaku sedang main judi
padahal bapaku hanya dikelilingi perempuan dan minuman

bapaku pernah bilang ibuku adalah setan
bapaku juga bilang bahwa ibuku jalang
padahal ibuku hanya seorang perempuan
padahal ibuku hatinya sedang meradang

ibuku menangisi aku yang mati
bapaku menangisi aku yang mati
semua menangisi aku yang mati

tapi ada satu yang menertawai aku yang mati
apakah dia setan?

bukan, dia bukan setan.

lalu siapa jika dia bukan setan.
dia adalah tuhan.


Mencermati puisi beraroma posmo di atas, pembaca sudah meyakini bahwa ini dunianya puisi, bukan dunia sehari-hari yang biasa manusia jalani. Pakaian kata yang dipakai di puisi ini murni telanjang dan nyaris tanpa berandai-andai, alias terbuka, langsung pada pokok persoalan. Sindiran juga gugatan tentang tuhan disampaikan secara keras oleh pengguna pakaian bahasa puisi di atas. Tuhan dianggap setan. Terlepas unsur ekstrinsik di atas, si penulis puisi bukan lagi murtat sebenarnya dalam menyampaikan tema gugatannya ini, namun ia ingin kita yang membaca paham, seperti apakah keyakinan bertuhan yang kita miliki, pakaian dalam berketuhanan yang bagaimana idealnya bagi seseorang yang mengaku beragama? Apakah kita sudah bertuhan dan beribadah juga percaya teguh terhadap takdir dari tuhan tersebut.

Bandingkan dengan puisi berikut:


Penyair Dua


Judul Puisi: Arah Kiblat
Judul Antologi: Tuhan, aku malu
Karya: Faradina Izdhihary
Penerbit: Nurul Haqqy Publishing
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 29

tuhan menjelma dalam sarang burung,
mengerami telur-telur,
menghangatkan kasih ibu dan anak.

nafsuku bergelut pada bibir yang saling kecup,
pada tangan yang saling mendekap,
pada birahi yang tak bertepi.

tuhan dan nafsuku adalah satu, berkejaran dalam darah.
memuncak gairah: ketika ajal merekah
seperti gunting yang memotong tali, pada busur-busur mimpi
yang melejit tanpa kendali

pada tuhan sungguh aku bernafsu,
pada nafsu aku bertuhan

ke mana menemu arah kiblat?

Sadar tidak sadar, penulis puisi kedua ini sedang menawarkan alamat kiblat bagi kita, yang bagi orang muslim kiblat dianggap sebagai arah menghadap dalam beribadah (salat, wudhu, mandi junub bahkan menyembelih hewan dsb.) Kiblat yang dikehendakinya di sini mengarah kepada fungsinya secara visioner yang berarti arah pencarian dirinya sebagai makhluk berkeinginan memenuhi nafsunya. Penulis mempertanyakan pakaian kata sebagai eksistensi yang bagaimana sebenarnya dalam mencari tuhan? Berbeda cara pandang oleh yang ditampilkan penyair satu "aku, setan, dan tuhan" yang lebih mengambil jahitan kata-kata untuk membentuk pakaian pemahaman menjahit pakaian kebertuhanannya secara original, murni mode sendiri, desain sendiri. Meskipun pembicaraan kedua tema puisi tersebut masih soal ketuhanan, masih berwujud ketauhidan, kepercayaan yang menjadi akar sikap manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia.

Dua penyair di atas dengan terang sedang memutar benang pencarian pakaian kata mereka, yang satu memakai benang nilon tebal dan jarumnyapun tergolong besar, yang satu dengan jemari lentik kata perlahan menjahit menggunakan jarum berukuran lebih kecil dan cenderung sentimentil meski ditutup juga dengan keterbukaan sebuah jahitan yang belum kelar. Tentu jika pembaca ingin melihat pakaian mereka kedua ini, model-modelnya bagaimana saja dalam selemari yang terkumpul harus membaca sendiri dan dengan bebas menafsirkan seperti apakah sesungguhnya pakaian bahasa (kata) yang mereka pakai dalam buku antologi puisi mereka.

Selanjutnya kita cermati dua penyair lagi berikut ini dengan pakaian yang lebih halus kainnya bagai sutra, dengan benang jahit yang lebih limit dalam menawarkan bidang-bidang modenya sesuai selera penyairnya dalam menciptakan pembalut badan puisi sebagai bahan pokok alias bakal yang terkesan kontras dengan dua puisi di atas.


Penyair Tiga

Judul Puisi: Tahajud Ilalang
Judul Antologi: Sajak Emas 200 Puisi Sexy
Karya: Dimas Arika Mihardja
Penerbit: Kosa Kata Kita
Tahun Terbit/Hlmn: 2010 : 44



setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang
inna shalati wa nusuki...
rakaat demi rekaat merayap
di dinding rumah:
alifku rebah

siang merajut sujud
malam merenda kalam
iqra bismirobikaladzi...
setiap saat kubacabaca 99 nama:
jemariku letih

ilalang di belakang rumah
tak lelah
ibadah

juga

Penyair Empat

Judul Puisi: Diruapi Malam Harum, VI:I-ILXXVII
Judul Antologi: Kitab Para Malaikat
Karya: Nurel Javissyarqi
Penerbit: Pustaka Pujangga
Tahun Terbit/Hlmn: 2007 : 36


Ruh yang diberkati menyatukan jiwa sedenyut kasih sekapas lembut bertiup
melepaskan ada-tiada dalam ruangan sesama, seturut kehendak melati (VI:XXIX).
Ia dekati dadamu atau kau pada gemuruh jiwanya, rasakan keterbangunan
beling dingin ratapan, dan khusyuk sayap-sayapmu menjemput niatan (VI: XXX).
Bulu-bulu bebas meninggalkan kekang mengikuti panggilan gemawan,
merindu-rindu cahaya pembuka di jemari tangan-tangan dedoa (VI: XXXI).
(.....)
Hadir berdemaman didekapnya kesembuhkan, masukilah sumsum iman,
lantas kembalikan cinta dari kubangan rindu, kubur kenangan ajal (VI: XXXIX).


Apa yang menjadi pakaian penyair tiga meski masih berbahan sutera namun jahitannya tetap berbeda dibandingkan pakaian bahasa (kata) yang dipakai penyair empat. Penyair tiga dengan rutinnya memperhatikan jahitan pakaian kebertuhanannya lewat 99 jahitan tersebut, saban hari, saban waktu sampai lelah jemarinya meletih. Mengambil simbol ilalang yang beribadat di belakang rumah dengan perbandingan taatnya si "aku" lirik dalam beribadah pula, menyebut nama (asma) tuhannya. Sebagai insan kamil, makhluk yang seharusnya memimpin dunia, penyair tiga menyampaikan poin kritiknya bahwa manusia harus berpakaian syukur, syukur sebab ia dicipta lebih sempurna maka sebab itu tak pantas melupakan ibadahnya pada khalik. Ilalang sujud, manusia yang memiliki perangai tak rutin sujud, tak yakini lagi arti penciptaannya. Keindahan pakaian sindiran penyair tiga dengan lembut berupaya mencapai kesadaran mata, hati dan kelembutan peribadatan yang wajib dimiliki setiap umat manusia yang mengaku bertuhan.

Penyair empat menggunakan metode pakaian bahasa justru berbeda dari kebanyakan penulis puisi lain. Seolah tidak sedang berpuisi jika kita lihat dari ketiadaannya bait dan larik. Kalimat-kalimat meluncur sebagaimana seorang petasbih yang berzikir dalam mabuknya doa dan kata-kata, barangkali penyair jenis empat ini sudah muak dengan pakaian bait dalam berpuisi, ia merombaknya mendesain sendiri tipografinya sehingga penampilan pakaian bahasa yang dikenakan dalam berpuisi dan bergaya di bidang kesusastraan semacam pengasingan diri, asing di tengah riuhnya ramai penulis-penulis puisi yang masih memakai jahitan model konvensional. Kain-kain perca bahasa ia satukan, setiap kalimat berlintasan berlepasan dan berbuih namun tetap mencirikan ombak penampilan puisinya.

Kalimat-kalimat berupa larik puisi menyusun jedanya masing-masing, keadaan yang menjadi fasilitas kebermaknaan puisi berupa bait dari berlarik-larik pakaian kata selanjutnya menemukan ceruk, mendapati lubang-lubang penuh buih. Pembaca yang penasaran dan terlihat jarang menemukan pakaian kata di dalam puisi sejenis selanjutnya mengajak dirinya untuk mau mengetuk. Sebab dasar dari tujuan membaca adalah memahami maksud yang disampaikan penulis, dalam hal ini penulis puisi bukan penulis umum yang sekedar mencaplok kata-kata dari kamus dan kebiasaan pemakaiannya di lingkungan dunia penulisan. Kerjanya sebagai penghimpun pakaian kata yang unik justru mengharuskan dirinya sebagai pekerja seni bahasa untuk bekerja serius memperbaharui tenaga kata, mempertinggi nilai kandungan bahasa, juga turut mewaspadai matinya kata-kata yang akhirnya justru jadi kain lap, pembersih debu di dapur atau kain perca sebagai alat rumah tangga sekedar untuk dipijaki kaki yang kotor oleh tamu maupun tuan rumahnya.

Lemahnya daya kreasi pendesain pakaian kata akan mempengaruhi nilai dan mutu karya yang diciptakannya. Pengunjung lemari puisinya (pembaca antologi puisinya) hanya melihat sekilas pintas belaka terhadap pajangan di dalam lemari kaca itu, tidak mau memegangnya, memilih-milihnya mana yang cocok sesuai jiwa dan selera dan bahkan seperti melihat pameran mode maju yang konon justru memasang diskon besar dan obralan murah meriah. Kesan bahwa penyair sebagai tukang loak kata-kata tak bisa tidak dengan miris akan dihadapi oleh kaum sastra, keadaan seperti ini tentu tak layak dibiarkan. Perlu ada pemerhati desain kata, perlu ada tukang ukur kat, tukang pasang kancing kata, tukang jahit pinggir kata. Misalnya editor buku puisi, illustrator sampul buku puisi, juga penerjemah warna lokal (pakaian lokal) dalam buku puisi yang dibutuhkan untuk membedah nilai secara mumpuni, nilai kekaryaan, nilai konstruktif yang ikut membangun tingginya mutu karya sastra puisi.

Korelasi dunia kata-kata dengan dunia berpakaian sesungguhnya seperti melihat sesosok manusia modern yang rapi berdasi namun kalimat-kalimat pidatonya sebagai seorang pemimpin justru tidak seideal pakaian (pembalut tubuh) yang dikenakannya. Banyak sudah contoh perilaku kemanusiaan bangsa kita yang tanpa disadari telah meninggalkan kebudayaan dalam berpakaian perilaku berupa kata-kata pantas. Orang bermobil tapi caciannya kepada pengemis seakan lebih rendah dari bahasa penjahat. Perkataan justru menjadi penggenap kurangnya penampilan seseorang, jika ia seorang yang sederhana namun kalimat-kalimat yang diutarakannya sungguh memikat hati, tak urung orang lain bisa menganggapnya guru yang berbudi bahasa. Tradisi kita sebagai orang timur memang suka sekali memperpanjang kata-kata, memutar-mutarkan kalimat sehingga meliuk tak berujung pangkal, nah di sinilah perlu kita sikapi bahwa roda jaman mengharapkan kita lebih hemat dalam berkata, layak mempertimbangkan kepraktisan namun pemugaran ini butuh etika dan kedinamisan yang bijaksana.

Penulis puisi tidak serta merta dapat membebaskan pemakaian bahasanya dengan segala alasan yang tidak konstruktif, yang justru tidak ada sangkut pautnya dengan meninggikan mutu/nilai pakaian katanya. Compang-camping dan meresahkan hati pembaca. Sikap dewasa dalam berpuisi menggunakan kata berhati, bernas dan tetap sederhana justru tak ada ukuran idealnya. Lain lubuk lain ikan, dengan ragam bahasa yang ribuan suku ini, bangsa kita membutuhkan sikap berbahasa yang berlandaskan rasa kebersamaan. Konsep pembinaan bahasa yang dilakukan oleh lembaga bahasa Indonesia di seluruh propinsi sudah selayaknya disikapi proporsional, ranah sastra tak luput pula dari perhatian lembaga tersebut, proyek-proyek kreatif kesusatraan turut pula diatur secara bersinergi dengan sekolah-sekolah, lembaga kesenian di tiap daerah, para penyair lokal juga pemerintahan yang punya tuntutan kerja di bidang ini, bidang mengatur pakaian bahasa yang sepantasnya.

Tradisi menulis terpengaruh pula dari lingkungan di tempat penyair puisi tumbuh, jika Anda orang Medan, tentu bahasa lugas, tuntas dan tegas ikut menjadi bumbu puisi yang ditulis, jika Anda berlatar belakang masyarakat sosial suku Jawa, maka tak ayal bahasa Anda penuh santun dan sangat mempertimbangkan bunyi, jika Anda berlatar Melayu, bahasa Anda menjadi semacam pantun yang melambai seperti pucuk-pucuk para, atau jika pun Anda seorang Aceh yang gemar bercerita, bahasa Anda sedikit banyak nantinya dalam menulis puisi akan tampil ketegasan, kesopanan dan sedikit intonasi meninggi yang menyerupai dialektika orang Batak, Padang bahkan Bali.

Rumah puisi yang kita ibaratkan tadi semacam lemari kaca buat meletakkan pakaian-pakaian bahasa tersebut, harus berhasil menunjukkan kemauannya untuk menyesuaikan mode/desain dan tuntutan atmosfer baru dalam kancah seni bersastra puisi. Kita tak mungkin menggunakan pakaian bahasa seorang Amir Hamzah yang sudah usang bukan? Namun bukan dengan demikian artinya kita tidak menghargai usaha seorang pujangga besar di dekade kesusastraan lama ini, sebab dengan demikian kita telah bekerja di luar batas-batas kedirian kita, orisionalitas bangunan dasar (foundament) kesusastraan kita. Perlu dengan dewasa mencermati, apa yang penyair-penyair besar itu tanam (termasuk seorang Chairil Anwar) dengan benih mutu yang baik pada akhirnya memunculkan batang tubuh kesusastraan Indonesia yang kekar dan tahan cuaca.

Namun adalagikah upaya kita selain memelihara apa yang sudah ada, yang sudah menjadi pakaian kesusastraan kita untuk selanjutnya berubah, berevolusi sesuai jamannya? Kebijaksanaan para kreator pakaian bahasa kita jangan sampailah melanggar etika ketimuran kita, lupa diri dan Salah Asuhan dalam modernitas yang justru menjadi Belenggu, sementara Layar Terkembang jangan lagi menjadikan bangsa sastra masuk jurang. Manifes ya Manifes , Lekra ya Lekra, tapi kini jaman Millenia, segala yang secuil dapat menjadi api, segala yang menggunung dapat menjadi cenung.

Manusia mencapai kodratnya sebagai makhluk bahasa dan menempati keindahan sebagai tanah untuk berpijak dan di sinilah ia melangkah dengan pakaian bahasa, bahasa sebagai fitnah jika tak dipakai semestinya, bahasa yang membunuh jika ia menjadi harimau bagi dirinya, tentu saja kebutuhan pakaian baru selalu ada, rasa ketidakpuasan menjadi hukum alam dunia manusia, apa yang sudah lewat tidak semuanya perlu diubah dan apa yang di hadapan justru membutuhkan esensi dari pencapaian kodrat manusia demi kemaslahatan dunia seni sastra secara umum dan keberlangsungan berkarya para penyair itu. Sebetulnya tidak semua sastra yang membawakan suara jamannya pasti sastra yang baik, seperti pendapat Budi Darma (dalam buku Sejumlah Esei Sastra, cetakan 1, 1984:15). Sebab, kalau sastra yang membawakan suara jamannya adalah sastra yang baik, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Setiap jaman memang membawakan mode tersendiri. Dan seseorang yang latah adalah hasil jamannya dan sekaligus membawakan suara jamannya.

Jaman pembredelan sudah lewat maka di depan kita akan melihat sebuah jaman di saat buku menumpuk tanpa pembaca, nilai dinamis menjadi raja, kebermaknaan menjadi harga dan kesetiaan kepada pakaian bahasa menemukan tantangan besar. Marilah kita hadapi bersama sebuah masa transisi di antara kendaraan seni sastra yang makin berlintasan, kawan dan lawan harus tetap sejalan jangan bugil jangan malas bercermin seperti apa sudah pakaian bahasa kita? Selamat berjuang.


Langsa-Indonesia, 14 Juni 2011.









Sumber Ilustrasi:

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fwww.hai-online.com%2Fvar%2Fgramedia%2Fstorage%2Fimages%2Fhai2%2Fpsikologi%2Fabout-you%2Fketika-perang-dunia-pecah%2F3223625-1-ind-ID%2FKetika-Perang-Dunia-Pecah_articleimage.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fwww.hai-online.com%2FHai2%2FPsiko%2FAbout-You%2FKetika-Perang-Dunia-Pecah&usg=__yMDHKmMCZpaASfCrfRA5J0M9sjk%3D&h=417&w=594&sz=20&hl=id&start=191&zoom=1&tbnid=uc_usUiOZc97PM%3A&tbnh=120&tbnw=162&ei=mw_6TZDtC83srQef8uDZDw&prev=%2Fsearch%3Fq%3Dperang%2Bdunia%26hl%3Did%26biw%3D1360%26bih%3D575%26gbv%3D2%26tbm%3Disch&itbs=1&iact=hc&vpx=289&vpy=280&dur=106&hovh=188&hovw=268&tx=196&ty=154&page=10&ndsp=23&ved=1t%3A429%2Cr%3A17%2Cs%3A191&biw=1360&bih=575



PUISI: Melayat Kemanusiaan Kita

Oleh: Muhammad Rain*



(Esai Sastra)


Puisi dapat dinikmati dengan beragam cara. Ada dua cara di antara ragam penikmatan dan pemahaman puisi sebagai benar satu (kita tak mau salah) karya sastra sebagaimana yang disampaikan oleh M. Saleh Saad dalam Prasaran Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan miliknya yang dimuat dalam buku Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru (Ali, ed., 1967: 111 - 27; 128 - 51). Pertama, bersatu dan menenggelamkan diri ke dalam karya sastra itu, sehingga persoalan yang ada ialah merasakan; dan cara kedua ialah menikmatinya secara sadar dengan memanfaatkan kaidah atau kriteria tertentu untuk menganalisis karya sastra, sehingga persoalannya ialah menilai secara obyektif.

Memasuki cara pertama yang disampaikan M. Saleh Saad ini yakni bersatu, tenggelam ke dalam karya yang kita baca, maka kita selaku pembaca dihadapkan kepada penyerahan kesadaran kita secara ikhlas untuk memperoleh hasil pembacaan puisi. Keyakinan dan kepercayaan kita kepada penyair yang puisinya kita baca tak boleh sedikitpun goyah, justru karena kita sedang belajar darinya, dalam memahami kehidupan yang dikisahkan dan difikirkan oleh pemuisi. Sedangkan cara kedua, lebih menekankan pada konsentrasi mencari nilai, bahkan menilai karya sastra yang kita baca sesuai kemampuan menilai masing-masing kita. Sebab pada dasarnya pemaknaan seni puisi yang mengambil "kehidupan" sebagai tema universal tetap menjadi hak umum segala manusia. Meski pembaca awam dan minim pengalaman terhadap seni berpuisi, catatan penting di sini bahwa sesungguhnya seorang penyair atau ribuan penyair jikapun mereka dikumpulkan ternyata tak juga mampu menunjukkan kita apa sesungguhnya nilai, tujuan, hakikat adanya kehidupan itu.

Masing-masing mereka (para penyair) punya pandangan originalnya, begitu juga pembaca. Sebab itulah penilaian terhadap sebuah karya adalah hak paten setiap orang, setiap pembaca. Seperti memberikan nilai kepada dirinya. Nilai dalam suatu karya sastra sesungguhnya sangat beragam rupa. Keberagaman ini muncul akibat banyaknya kepala, isi dan pemikiran yang berlintasan di setiap penyair. Teeuw (dalam Yudiyono KS., 1990: 33) menyinggung tentang masalah nilai sastra, ia dalam buku Telaah Kritiik Sastra Indonesia ini secara singkat menyatakan bahwa kriteria utama untuk nilai sastra ialah relevansinya sebagai karya seni bagi eksistensi manusia. Robson menimpali pula dalam menilai sastra harus dapat dikembalikan kepada satu prinsip, yaitu kemanusiaan. Sebab, tidak ada seni untuk seni saja, atau tidak ada ilmu untuk ilmu saja.

Meskipun dengan dua pertimbangan nilai sastra yang ditawarkan dua ahli ini seolah saling sokong, namun untuk menafsirkan makna "kemanusiaan", kita perlu berhati-hati, justru karena maknanya tidak menunjuk suatu konsep yang tunggal. Kemanusiaan bagi kaum Marxis boleh jadi tidak sama dengan maknanya dengan kemanusiaan di mata penganut ajaran yang lain. Hal ini selanjutnya menimbulkan beragam persepsi yang bermuara pula terhadap beragam pemaknaan nilai karya sastra (puisi). Akan tetapi sebagai pembaca, pencipta sastra, pengkritik dan peneliti luasnya dunia sastra, ternyata penafsiran nilai kemanusiaan ini tetap memiliki muara sebagai tujuan sama, yakni memanusiakan manusia. Puisi sebagai sebuah proyek raksasa kemanusiaan yang dilakukan sejak berabad-abad silam bahkan hingga berabad-abad ke depan berfungsi abadi dalam memunculkan nilai kebermaknaan kehidupan yang dijalani oleh manusia, manusia yang tak bermakna, tak memiliki arah nilai juga tak berpedoman hanya akan menyia-nyiakan fungsi akal budi yang dimilikinya.

Puisi sebagai produk demi melayat kemanusiaan kita yang seakan selalu mati oleh kondisi, oleh perombakan-perombakan yang dilakukan seiring jalannya waktu. Puisi menjadi ranah kondusif yang banyak diminati seluruh kalangan suku bangsa manusia sehingga sebagai salah satu seni yang kompleks yang selanjutnya menjadi salah satu kesusastraan penting dunia selanjutnya dijunjung tinggi lewat penghargaan Nobel segala, pencitraan tingginya nilai kemanusiaan yang berhasil dilayat oleh penyairnya, jika hari ini ada yang mengatakan puisi sebagai barang mati, nyata sekali bagi kita bahwa pengkata ini sedang mengubur nilai kemanusiaan dirinya. Bahasa puisi adalah bahasa jiwa, kendaraan yang mengantarkan pembaca kembali mengenali dirinya dan semesta, bolak-balik dari kosmos ke mikrokosmos yang melingkupi dunia replika, dunia yang menyelamatkan jutaan jiwa dari kematian denyut kehidupan jiwa itu.

Lalu bagaimana jika suatu kenyataan berbeda lahir dari sebuah karya puisi yang tidak menjalankan fungsinya sebagai tenaga hidup dalam menkhidmati kehidupan ini? Bagaimana sebenarnya sikap bijak kita ketika membaca suatu karya puisi yang nonsens yang tidak memiliki daya dorong untuk membangun fungsi refleksifitas, revisioner, re-re- lainnya yang menghendaki pencerahan dalam tugas manusia sastra untuk mampu membaca jalan dan tumbuhnya kehidupan di dalam kesusastraan. Bagaimana ketika dunia puisi dipenuhi oleh orang-orang yang mati, mati rasa mati estetika? Kita lalu menjawabnya dengan perasaan jenuh dan sia-sia. Puisi yang gelamor belum tentu merdeka dari kebobrokan syahwat yang membelenggu dunia nafsu. Puisi tenar belum tentu bebas dari uji materil kekonyolan demi sekedar membesarkan satu dua nama.

Keterjebakan kita terhadap sastra nonsens, sastra yang fulgar, atau sastra yang malah lembek menetek kepada keindahan tanpa nilai refleksi. Seperti halnya manusia memilih makanannya, tentu cita rasa menjadi penting. Jiwa pembaca memiliki beragam cita rasa memang, tetapi ketika kita misalkan menanyakan satu demi satu pembaca itu, apa tujuan Anda membaca puisi? Nyaris secara umum mereka para pembaca itu menunjukkan suatu jawaban yang mengarah untuk memperoleh nilai kehidupan, nilai kemanusiaan yang didialokkan oleh penyair lewat puisinya.

Saudara tidak akan tertawa terpingkal khan jika ada yang begitu menggilai puisi sampai ada yang lupa makan? itu adalah suatu daya cinta pembaca terhadap cinta dirinya kepada kemanusiaan. Penyair bahkan menulis tanpa rasa lapar jika ia sejenis manusia yang tidak manja, yang tidak hanya akan menulis ketika perutnya kenyang, entah itu setelah diundang makan-makan di suatu acara sastra terkemuka lalu mulai berguyon tentang kesusatraan yang merdeka tanpa tujuan mengisi perut. Jiwa yang kita memiliki tentu membutuhkan nutrisi yang bergizi, puisi salah satu gizi yang doyan dinikmati. Gizi berfungsi memendam nilai di dalamnya, jika pada makanan bisa berupa nilai nutrisi, nilai protein dan sebagainya.

Kalau Anda menelan pil untuk mengobati sakit kepala misalnya maka dorongan perhatian dokter lewat kata-kata sugestifnya (meski tak terlalu nyastra) toch sedikit banyak membantu Anda semangat untuk sembuh. Kasih sayang suatu bahasa dapat meredakan emosi yang meluap, kekecewaan dan kepedihan selama menjalani kehidupan dapat sedikit kendur jika ketika si pesakitan mau membuka corong mata dan jiwanya demi mengenali ada ribuan dan bahkan jutaan peristiwa lebih mengerikan yang di alami banyak orang di luar sana.

Anda mungkin pernah membaca Sarajevo-nya Goenawan Mohammad, atau Anda lebih suka puisi yang ditulis penyair yang turut berperang, atau bahkan Anda tidak suka perang sehingga tidak mengenali perang sesungguhnya selalu dengan gencar terjadi di dalam diri Anda. Dalam kehidupan yang tanpa sadar kita jalani ini, kita bangga-banggakan ini, perang terus berlangsung. Perang melawan hawa nafsu, perang yang lebih besar dari perang Badar masa Rasullullah sebagaimana yang diriwayatkan kitab-kitab agama Islam, atau perang modern di film-film Star Trex misalnya, perang dunia robot.

Replika perang yang sesungguhnya sedang mengajak kita dalam memaknai kehidupan, melayat nilai-nilai kemanusiaan kita yang kerap terkubur oleh nafsu keduniaan.Penyair mengetuk lewat puisi-puisinya, kaum agamawan mengetuk dengan khutbah-khutbah dan ceramahnya, para pemimpin mengetuk dengan peraturan-peraturannya untuk seluruh rakyat yang jika ia mencintainya, para ibu mengetuk si anak yang sakit dengan dongengan tentang binatang yang kelewat licik agar si anak melupakan rasa sakit yang diderita. Seorang penyanyi justru bertanya pada rumput yang bergoyang, jika dirasa olehnya manusia sudah bukan tempatnya lagi untuk bertanya apa sesungguhnya nyanyian-nyanyian kehidupan. Sastra sangat luas, sampai begitu luasnya namun masih ada di antara jutaan ribu pembaca yang masih sesat, seperti membaca puisi yang tak bertenaga seperti berangkat naik bus di jalan mulus menembus waktu namun tak ada yang turun satupun tak ada yang sampai kemanapun, sebab puisi semacam ini nyaris lembek tanpa alamat.

Melayat kemanusiaan kita adalah ibadah hablum minnannash, banyak pahala di sana bahkan langsung terasa di dunia nyata. Orang-orang sesama pencinta sastra memiliki ketentraman yang sama sebab tak saling melanggar dan memperkosa keindahan masing-masing mereka. Keindahan yang sejatinya tidak bisa dimiliki sendiri-sendiri. Keindahan kesusastraan puisi itu. Maka menulislah agar semua selamat, tidak penyairnya saja, tidak para penerbit buku saja, pencetak majalah dan koran saja. Semua orang ingin selamat dari kematian kemanusiaan yang masih bisa ia hidupkan. Hidupkanlah kesusastraan di mana saja, kapan saja dan untuk siapa saja. Salam sastra.


Langsa-Indonesia, 16 Juni 2011.








Sumber Ilustrasi:

http://www.facebook.com/home.php?sk=group_214264271935446&view=doc&id=225307107497829


MENGGUGAT AKSARA*


Oleh: Muhammad Rain


*KRITIK SASTRA





DISKUSI ONLINE
MENGGUGAT AKSARA VOL.1
DI FASILITASI OLEH GRUP (KOMUNITAS) SASTRA: KEBUN SASTRA

“MENGGUGAT AKSARA”:
1. SK tuhan, Karya Tosa Putra dari Trenggalek
2. Surat Kepada Bintang II, Karya Ayano Rosie dari Makasar

APRESIATOR UTAMA: Muhammad Rain

Salah satu fungsi kritik sastra adalah sebagai bahan tulisan yang memberikan sumbangan pendapat, yang memberikan petunjuk kepada kebanyakan pembaca tentang karya sastra yang baik dan yang tidak baik, yang asli dan yang tidak asli. Untuk selanjutnya bahan tulisan itu dapat dijadikan pertimbangan bagi pengarang tentang karyanya, sehingga pengarang yang memanfaatkan kritik sastra akan dapat mengembangkan atau meningkatkan mutu hasil karyanya.

Berkenaan dengan digelarnya diskusi online komunitas ini dengan tema “Menggugat Aksara Dua Puisi : SK Tuhan dan Surat Kepada Bintang II” maka kali ini kebetulan Muhammad Rain (selanjutnya dapat disebut Muhrain) mendapat kesempatan mengajukan gugatan sebagaimana keinginan grup ini. Adapun gugatan aksara yang disampaikan di sini dipakai juga untuk bahan diskusi, sehingga sifatnya dapatlah dianggap gerbang pembuka bagi para sahabat lain untuk menguji dan bahkan membantah serta menawarkan solusi lain terhadap gugatan yang disampaikan.

Kita mulai dengan membedah puisi Tosa Putra berikut ini:

SK TUHAN (Perjanjian Alam)


Matahari, bumi, pohon, bulan, bintang dan rangkaian galaksi dicipta dengan perjanjian mengisi alam yang ditulis dalam kitap perundangan

mengingat: rotasi
menimbang: evolusi
memutuskan:

Pasal 1

1. Bulan adalah satelit bumi, menjadi cermin matahari, memantulkan cahaya-Nya, menerang bumi pada malam meski kadang terhalang awan.
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan. Bulan pun tak tercatat dalam sejarah ketika bumi diam tak berkisah.
3. Di langit gemerlap, bulan dan bintang bersanding sedang bumi sendiri menahan pedih.
4. Di langit terang, bumi mutlak hak matahari, sedang bulan-bintang mesti sembunyi di laci ; tercundi dalam kitab suci milik para sufi.
5. Bumi sabar menanti bulan menerang malam, sedang di langit bulan memilih bercengkrama dengan bintang, bermainan ayunan (menggantuk di atap bumi) dan Cuma cahaya-Nya yang menyapa.

Pasal 2

1. Akar tunggang kokoh mencengram hati agar tak roboh
2. Akar serabut menyedot sari bumi, disalurkan via selang kata bernama cambium makna sampai pada daun kehidupan.
3. Di bawah matahari, klorofil berfotosintesa agar dapat tumbuh-kembang ranting, dahan dan duan rindang untuk menebar keteduhan, kesejukan dan keindahan sampai berakhir di mata gergaji, menjadi laci menelan bulan-bintang dalam kitab suci.


Surat keputusan ini dibuat untuk dijadikan pengajaran makna kesetiaan, kebersamaan dan pengorbanan. Keputusan ini berlaku sejak alam dimuntahkan dari rahim tuhan. Terkait perubahan dan hal yang belum tercantum dalam surat keputusan ini diatur dalam kitab suci.


Lembah hati, awal kehidupan
Atas nama cinta
Tertanda
Sang pencipta.

Trenggalek 12-13 Juni 2011.


Kesan perdana akan serta merta muncul dari sisi visual bentuk sajak di atas, kita kenal dengan istilah tipografi, sebagaimana sikap konvensionalnya pembaca sastra secara umum, maka kelihatan bentuk sajak karya Tosa Putra di atas sangat menyimpang dari kebiasaannya. Sebentar dulu, ini masih kecurigaan kita sebab kita telah biasa disuguhi pola bentuk sajak yang berbait, berbentuk rangkaian larik-larik yang konon dibaca satu nafas, mendapat pemberhentian (jeda) pembacaan secara wajar. Namun sajak di atas sama sekali jauh memengang kendalinya untuk bisa disebut sajak konvensional.

Baiklah, maka selanjutnya berdasarkan fakta visual tekstual tersebut, kita tak dapat mengklasifikasikan puisi ini sebagai puisi umum, konvensional atau biasa yang di dalam sastra tergolong puisi baru. Namun puisi Tosa dapat kita golongkan sebagai puisi kontemporer, yang berusaha merubah unsur-unsur isi dan bentuk untuk tampil berbeda dari karya sajak umum. Bila dibandingkan dengan karya Ayano berikut tampak sekali secara kontras perbedaan puisi secara bentuk sepintas (visual).

SURAT KEPADA BINTANG II

Karya: Ayano Rosie

Malam menjenguk bulan
Melerai bumi dipijakan
Merayu bintang tuk berkedip
: senyap mengusung meteor

Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

Kepada bumi bulan bercahaya
Kisah bintang tak berpola
Larut terik disejuk bumi
: menangis

Ini kisah bintang
Di bulan ranum memendam
Langit jingga di lengkung bumi
: layu lebur.

Berdasarkan dua bentuk yang berbeda dari dua puisi ini, maka tak dapat kita gunakan tangan yang sama dalam menyisih-nyisihkan bentuk itu. Muhrain mengganggap bahwa sajak/puisi Tosa dapat kita dekati sebagai bentuk puisi kontemporer, yang membutuhkan minat kreatifitas untuk menolak sisi bentuk umum puisi konvensional dari karya puisi Ayano.

Pola berbentuk undang-undang, peraturan yang berpasal pula dan berikut berisi penyataan menjadi sesuatu yang mengikat bahwa sajak Tosa bertujuan untuk menggunakan nilai bentuk (bentuk SK) sebagai gaya tarik utama puisinya. Berhasilkah?

Berbicara bentuk (nilai visual) maka karya Tosa jelas kalah saing dengan karya Ayano, alasannya gampang sekali, sebab untuk memunculkan kesan indah, sastra berupa karya indah (su-sastra) kumpulan karya (tulisan) yang indah, nah dengan demikian nilai keindahan lebih dimiliki oleh karya Ayano, berdasarkan pandangan formalitas kaum sastra kita, indah pada pandangan seorang Muhrain tentu kebanyakan sifatnya, indah secara bentuk karena sajak sangat membutuhkan dukungan dari sisi bentuk, yang selanjutnya didukung oleh kekuatan isi.

Berikutnya kita mengkaji nilai keberaksaran kedua karya puisi ini. Perhatikan bagaimana Tosa dalam puisinya menggunakan seluruh nilai bahasa sastra demi meninggikan nilai hasil karya ciptanya. Kelihatan secara nyata karena ia berkehendak menciptakan suatu bentuk surat keputusan, lalu dari sanalah kesan diksi bertujuan menunjukkan surat-surat (kiriman pesan lewat karya tulis) yang merujuk kepada suatu keputusan mulai menggerayangi dunia kreasi Tosa, maka ia mulai memilih kata beraroma tegas, menunjukkan, menyatakan: "Mengingat, Menimbang, Memutuskan" dst.

Bandingkan dengan Ayano dalam menunjukkan minat awal penciptaan karya puisinya. Awalnya kedua sahabat kita ini sudah menyepakati untuk menulis puisi yang punya kaitan dengan tiga kata:

Tiga kata itu yakni bumi, bulan dan bintang. Nah meski ini bukan lomba lalu pilihan-pilihan keduanya memiliki tujuan untuk mengangkat tema yang disepakati kedua Sahabat kita ini. Ayano menulis surat juga rupanya, tapi bukan surat keputusan, apalagi keputusan dari Tuhan (ala Tosa). Surat Ayano bukan kepada kekasihnya atau siapapun yang sejenis makhluk hidup, tapi ia menulis suratnya untuk bintang. Siapakah bintang? maka mulailah Ayano menulis bahasa planet, bahasa semesta, meskipun masih bisa dimengerti oleh manusia, ia memakai kata-katanya sebagai penyampaian berita tentang sikap-sikap antara penghuni semesta, sikab bumi, sikap bulan bahkan sikap sang bintang sendiri yang konon Ayano sedang menulis suratnya untuk sang bintang itu sendiri. Aneh khan? seorang Ayano menulis surat yang menceritakan kisah si bintang, bintang yang bakal menerima suratnya.

Surat Ayano menjadi muskil alias mustahil oleh adanya larik ini, perhatikan:

*Merayu bintang tuk berkedip

*Kepada bintang, bulan tersenyum

*Kisah bintang tak berpola

Tiga larik inilah yang menyumpalkan ketidaklogisan seorang penulis surat kepada bintang ini, Ayano. Logika bahasa seterusnya bekerja dalam menyingkap perjalanan suatu bentuk teks bahasa. Teks bahasa tak mati sebagai teks, ia hidup dalam ruang berbahasa yang multi indra, ia dibaca oleh mata, dilafal oleh mulut, dipahami oleh kemampuan otak dalam mengartikan bahasa, juga seolah diperdengarkan kepada kuping saat kita menjalani proses pembacaan.

Selanjutnya kita akan seterusnya menyikapi nalar-logika kata-kata, kelompok kata bahkan kalimat yang begitu ramai pada bentuk puisi Tosa, dan permainan kata yang tertera pada karya Ayano. Sebab bahasa sastra bukan bahasa planet yang antilogika, bukan bahasa orang yang ngelantur dan cap-cus.

Sapardi Djoko Damono (1975-76 : 299) pernah menyampaikan kira-kira begini bunyinya: (saya penggal untuk menohok tajam)...

Kritik yang baik adalah semacam kesan-kesan pribadi yang memberi isyarat kepada pembaca lain untuk bangkit menemukan pembahasan yang disampaikan penulis kritik itu..., Kritik tidak berpura-pura untuk mencampuri percakapan yang mungkin terjadi antara sebuah sajak dengan pembacanya. Ia pun tidak menghias sebuah sajak agar nampak lebih menyenangkan, juga tidak mengotorinya. Semacam pembangkit rasa ingin tahu, kritik yang baik mampu menggoda pembaca untuk memperhatikan kembali karya yang "hilang" karena tersapu debu waktu.

Masih menurut Sapardi DD., bagi penyair , kritik yang baik dapat membukakan kesadarannya akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada sajaknya, yang mungkin sekali belum pernah ia ketahui sebelumnya. Barangkali ia bisa mengembangkan lebih jauh beberapa kemungkinan yang diharapkan dapat menaikkan nilai tulisan yang ia hasilkan nanti.

Pantas juga diingat bahwa kritik sastra yang kita baca tidak semata-mata karena isinya, melainkan karena gayanya. Terlepas dari apa yang dibicarakan, maka kritik yang baik tetap enak dibaca.
...

Tadi kita telah melihat, mendiskusikan, bahkan sudah ada beberapa kawan yang selesai sampai pada kesimpulannya, kali ini biarlah giliran saya menyelesaikan tulisan saya.

Ayano benar telah menyusun kalimat-kalimat, larik, bait dari aksara indah, namun keindahan nanti dulu kita katakan sebagai indah yang maksimal, mari kita cermati keindahan diksi yang berhasil atau tidak berhasil ditumpuk Ayano dalam puisinya:

Atas bumi langit memeluk

: memeluk apa?
Larik yang ini menjadi gantung, antara kita menyebutnya indah atau malah tidak indah. Bandingkan jika misalnya urutan kata kita rombak, dengan bertujuan meraih indah yang lebih kuat, meskipun tidak satu katapun dari larik ini yang dirubah atau diganti. Tanpa merusak kesinambungan makna tentunya dengan larik sebelumnya atau larik sesudahnya.


Atas bumi langit memeluk

kita rombak sembarang saja tanpa bermaksud mengobok-ngobok acak tanpa tujuan:

langit memeluk atas bumi

(awalnya..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
Atas bumi langit memeluk
Beriak di tusukan hari

(perubahan..)
Kepada bintang, bulan tersenyum
langit memeluk atas bumi
beriak di tusukan hari

Persoalan logika bahasa yang saya sampaikan di tulisan awal tadi bahwa Ayano melakukan ketidaktelitian dalam menulis lariknya, baik secara susunan bahasanya apalagi pemaknaannya secara benar.

Manakah yang memeluk di sini? Apakah bumi yang memeluk langit atau langit yang memeluk bumi?

Jawaban logis tentunya langitlah yang memeluk bumi, bukan sebaliknya, bumi lebih kecil di banding langit terutama dari sisi luasnya. Jadi tak bisa bila bumi ternyata malah ingin memeluk langit, ia malah diselimuti oleh langit (dipeluk) keseluruhan bidangnya oleh langit.

Dalam konsep imajinasi, orang tentu ada yang bisa terbang dengan mengandalkan selendang (seperti kisah Jaka Tarup yang menyembunyikan selendang salah satu peri), ada yang terbang bahkan dengan angin dan banyak lagi, itu kita kenal sebagai logika sastra, yakni logika yang hanya akan ada nyata dikawasan sastra. Benar memang sastra itu bebas, tapi bukan bebas mabuk kehilangan nilai rasa logikanya, kehilangan ketentraman jiwanya, mengapa kita sebut ketentraman jiwa? karena ketika kerja bersastra, menulis puisi, merangkai kekuatan bahasa sastra, bahasa indah namun kerja ini malah mengaburkan tuntutan kelogisan bahkan serendah-rendahnya tuntutan berbuat logis itu, maka kita para pesastra sedang mabuk diluar kesadaran, ngoceh dan sayang sekali wahai saudaraku sekalian, ketika kita mulai ngoceh dalam bersastra maka nilai indah menjadi semakin abstrak tak tepahami, seperti kita memandang coretan cakar ayam siswa PAUD, indah mungkin baginya, namun hanya dia sendiri yang mengatakan itu indah, asyik baginya ya, karena dengan asyik dirinya sendiri dalam membela keasyikan dirinya.

Kali ini kita berhadapan dengan pasal-pasal dari Tosa Poetra , dalam puisinya yang telah dengan yakin ia mencap konsep menyusun surat keputusan (SK), maka lalu meskipun itu sk-sk-an ala manusia murni sastra, saya ingin sekali sebenarnya membaca ketegasan Tosa secara berimbang dalam mencap puisinya ini bernafas Surat Keputusan. Pasal-pasal yang dibuka dengan tiga barisan sakti ini:

mengingat : rotasi
menimbang : evolusi
memutuskan :

Di sinilah titik kulminasi, titik pagut pembacaan karya Tosa dimulai, ia menyatakan "mengingat" untuk memberi petunjuk refleksi, "menimbang" untuk menunjukkan nilai kebijaksanaan (saya kira bijaksananya Tuhan), dan lalu Tosa memakai kata terakhirnya dalam tiga rangkai yang sudah mentradisi ini pada banyak jenis SK kaum manusia, ia menyatakan "memutuskan"?

Saudara yang membaca sudah bisa memilah banyak isi pasal, dan yang mana dari yang banyak ini yang berupa keputusan, mari saya hidangkan:

(sepintas yang bisa digolongkan keputusan):

Pasal 1:

1. "Bulan adalah satelit bumi"
2. Pada gelap, bumi sepi tanpa bulan.
kata "pada" harusnya diganti dengan kata "saat", guna memperjernih pernyataan.
4. " ...bumi mutlak hak matahari"

sedangkan
nomor 3 dan 5 sama sekali tak berbau keputusan. Silahkan kita cermati lebih jauh.

Pasal 2, semua bagiannya telah tergolong jenis keputusan, karena Sahabat kita Tosa memang telah menelitinya dengan yakin menggunakan korelasi ilmu biologi. Jadi tidak kita temukan hal yang melenceng dari kehendaknya dalam mengkreasikan suatu keputusan.

Penutup dalam mencermati dua puisi (sajak) Saudara kita ini, Ayano dan Tosa, saya menyimpulkan bahwa kita perlu menilai dengan benar kenyataan-kenyataan karya sastra yang hendak dimunculkan terutama ke publik, sehingga penalaran bahasa secara sederhanapun dapat memperoleh keyakinannya. Gugatan aksara yang muncul di sini tak lain sebagai sebuah kehendak bersama dalam mempertinggi kreatifitas dan produktifitas berkarya para pelaku sastra puisi.

Bagian-bagian yang tersampaikan di sini murni mencari titik penggugatan versi Apresiator Utama, dengan maksud menemukan jalan yang telah terhambat dalam kedua karya tersebut, menawarkan refleksi kajian kepenulisan puisi, dan turut sertanya kita seluruh pembaca dalam memberikan dorongan demi temuan-temuan jalan baru selanjutnya bagi saya sendiri selaku penyaji, sebab sayapun sedang tahap belajar, kepada Ayano dan Tosa, juga kepada segala pihak yang berkenan mendapatkan petikan-petikan istimewa grup ini.

Dengan kerendahan hati dan segenap cinta sastra, selamat bersastra saya ucapkan kepada pembaca umum, terima kasih atas kesempatan mengisi laman ini, jumpa kata lagi di masa yang akan datang.

Wallahu a'lam Bis'shawaf.

Muhammad Rain









Sumber Ilustrasi:

http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fa606.ac-images.myspacecdn.com%2Fimages01%2F25%2Fl_bc0ba67ab5fba332eef699e89f668785.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fadamjawa.wordpress.com%2F2010%2F01%2F&usg=__wwW5lsnwGVfYtNo0AhC0OVzTAik%3D&h=436&w=600&sz=46&hl=id&start=16&zoom=1&itbs=1&tbnid=VTY3H5PVUliipM%3A&tbnh=98&tbnw=135&prev=%2Fsearch%3Fq%3DKarya%2BSastra%2BJawa%2BKlasik%26hl%3Did%26sa%3DG%26gbv%3D2%26biw%3D1024%26bih%3D461%26tbm%3Disch&ei=QeUGTtPAFIHRrQeXn_iLDA


KULTURAL FILOSOFIS SASTRA*

Penulis asli: Purwadi, disampaikan ulang oleh Muhammad Rain, dengan penyesuaian seperlunya.


*ESAI SASTRA


Kesusastraan merupakan sumber referensi etika (tata susila) dan etiket (unggah-ungguh) yang sangat penting termasuk dalam kehidupan hubungan perkawinan suami dan istri, di dalamnya dibicarakan beragam hal yang berkaitan tentang tatanan tumpu sikap anggota keluarga (suami dan istri). Menarik sekali mencermati sebuah buku “Sastra Interdisipliner”*) yang berupaya menyandingkan sastra dengan disiplin ilmu sosial, diterbitkan oleh Penerbit Qalam, tahun 2003, Yogyakarta. Ditulis oleh Muh. Arif Rokhman dkk. Berikut ini berisi cuplikan yang berkaitan tentang sekelumit pandangan berupa tinjauan cultural filosofis khususnya dalam kebudayaan masyarakat Jawa (dalam sastra Jawa pula).

Sastra sebagai seni tidak hanya melingkupi kerja kreatif dalam wilayah kebahasaan, Y.B. Mangunwijaya berpendapat bahwa sastra bukanlah persoalan bahasa saja. Sastra selalu ada hubunganya dengan religius. Sastra adalah intellectual exercise, sebuah dunia pemikiran yang menyimpan nilai-nilai kebenaran.Seperti kebanyakan munculnya karya sastra yang lain, sastra Jawa timbul berawal dari adanya ketimpangan dalam men-sarikan nilai-nilai kebenaran yang demikian itu, yang terkadang telah jauh leceng dari kebiasaan, budaya dan kepercayaan temurun kaum masyarakat di Jawa. Dalam kehidupan untuk menumbuhkan nilai-nilai religius, sastra Jawa lahir mendekatkan nilai luhur masyarakat yang telah dimiliki sejak lama dengan penyesuaian akidah agama yang ditaati pula oleh pemeluknya.

Sastra Jawa sebagai khasanah pemikiran yang berkembang, rupanya memiliki akar kekuatan dan khasanah yang luas atas sejarah perkembangan Jawa. Keberadaan serat-serat Jawa kuno merupakan representasi dari Jawa pada zaman itu. Berikut ini dikutipkan naskah asli dan terjemahan sebagian kecil Serat Candrarini untuk menjawab secara ringkas betapa nilai kesusastraan Jawa memiliki nilai praktis pula sebagai semacam pedoman dalam masyarakat (khususnya Jawa) untuk menjalani kehidupan berumah tangga antara pria dan wanita.

Sesungguhnya jagad kewanitaan mendapat perhatian istimewa dari para pujangga dan budayawan Jawa, terutama pada masa kraton menjadi cosmos center (pusat pemikiran). Banyak karya sastra yang secara khusus membahas bagaimana idealnya para putri (wanita) berperilaku dalam masyarakat. Tema yang disampaikan didalamnya pun sangat bernilai filosofis sebagai semacam pandangan hidup bagi kaum wanita. Kesetiaan wanita pada laki-laki dilukiskan pada Serat Candrarini karya R.Ng. Ranggawarsita. seperti di bawah ini:



MASKUMAMBANG

Ngastutia tata tataning pawestri
rehing palakrama
ngemungna laku utama
tuladha ingkang carita

Den asabar sadu darama ing budi
ngawula ing priya
suprihen waluya jati
aja ngengungaken wanodya

Sayektine kudu surti ngati-ati
nastiti ing patrap
ngawruhi ambeging laki
lakonana tark brata

Aja kurang samapta talaning panti
rumantri ing patrap
pinataha kang patitis
pantesan pangrukti nira

Terjemahan:

Usahakan tata laksana wanita
dalam hal rumah tangga
mementingkan laku utama
teladan dalam cerita

Agar hati sabar lapang budi
berbakti pada suami
jagalah setia sejati
hindari keangkuhan diri

Sungguh wajib selalu hati-hati
teliti bertindakm
memahami suami berkehendak
lakukan puji doa

Jangan kurang kesiapan kerapian wisma
sedap bila dipandang
cekat cepat dan tepat
pantaskan segala pekerjaan.



Perceraian dinilai sebagai suatu kegagalan kehidupan wanita.


SINOM

Awit jenenging wanodya
pegat dennya palakrama
nistha nir kadarmanira
wigar denira dumadi
sami lan mangunteki
kang badar subratanipun
punggel kaselan cipta
marma saguunging pawestri
marsudiya widadaning palakrami


Terjemahan


Kalau sampai ada wanita
cerai olehnya bersuami
hina hilang darmanya
gagal dalam hidupnya
sama dengan jatuh diri
yang batal semedinya
kandas segala harapan
maka buat semua wanita
jagalah kelestarian rumah tangga.



WASANA WACANA

Al-Quran menyebutkan bahwa para lelaki adalah pemimpin kaum wanita. Pemimpin di sini tidak berarti menguasai apalagi menindas, melainkan membimbing dan mengarahkan ke jalan yang lurus. Demikian pula konsep ke-Jawaan yang mengatur tata laku pria-wanita, suami-istri hendaknya tidak dipahami secara dikotomis antagonis (dua pihak yang berlawanan), tetapi harus dikerangkakan sebagai suatu job description harmonis.


KINANTHI

Yen sira winungku kakung
ywa filar lomparing uni
tetuladhan kuna-kuna
kadising Rasulullah
kang amrih utamaning dyah
antuka swarga di


Terjemahan:

Bila engkau mendampingi suami
jangan lupa kisah dahulu
teladan jaman kuna
Hadist Rasulullah
demi keutamaan wanita
sarana masuk surge mulia.


*)Purwadi sebagai penulis dalam bagian buku ini (bagian terakhir) menyertakan penutup tulisannya dengan daftar pustaka berikut:

Emmy Wijati, 1990. Manfaat Nilai Etika Serat Candrarini Pada Peranan Wanita dalam Kehidupan Keluarga. Yogyakarta: Filsafat UGM.

Purwadi lahir di Nganjuk, Jawa Timur. Menyelesaikan pendidikan sarjana dalam bidang sastra nusantara di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia kemudian melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Humaniora bidan studi Filsafat dan menyelesaikan tingkat doctoral tahun 2003.

Berdasarkan beberapa cuplikan kutipan yang dilakukan secara langsung dari web site sumber ilustrasi dan juga buku Sastra Interdisipliner di atas, penulis menyampaikan mohon maaf jika terjadi kesalahan dalam proses penyampaian ulang karya tersebut. Adapun tujuan penulis tak lain demi menunjukkan pada pembaca karya sastra secara umum, agar mampu dan berkeinginan pula guna mengkaji kembali nilai-nilai kesusastraan yang dimiliki oleh suku-suku bangsa dalam hal ini suku Jawa, yang ternyata memiliki nilai kebudayaan yang luar biasa, nilai-nilai tersebut pun ada yang bersifat umum dan adapula yang bersifat praktis dan strategis untuk menyadur ulang akar kebudayaan bahkan sastra Indonesia.

Konon kenihilan nilai karya-karya sastra di jaman sekarang justru dapat terjadi akibat kurangnya minat membaca karya klasik Indonesia, baik akibat minimnya koleksi kepustakaan yang dimiliki pembaca maupun minus minat untuk memandang keoutentikan karya sastra negeri sendiri.

Dalam kaitannya tentang nilai-nilai keperempuanan yang disampaikan dalam karya R.Ng. Ranggawarsita tersebut di atas, kita sebagai masyarakat bangsa nan memiliki culture dan kepercayaan beragam mustilah memiliki sikap menjunjung nilai yang telah kita miliki sendiri. Tidak benar jika ketika banyak kritik dalam masyarakat khususnya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, kaum perempuan kebablasan dalam soal emansipasi, kaum lelaki berlebihan dalam menempatkan kepemimpinannya dalam keluarga.

Istri menjadi pihak yang banyak sekali mengalami minus kompensasi ketika derita/kisruh yang dialami sebuah keluarga, suami menjadi pemimpin yang tumpul pula jika kesemua sikap dalam pergaulan suami istri terkontaminasi sikap hegemoni modernitas yang konon telah meminggirkan nilai-nilai harmonisasi dalam hubungan keluarga. Sang istri yang bekerja misalnya menjadi kebablasan alias loussecontrol dalam tanggung jawab utamanya sebagai pemimpin di wilayahnya. Sebagai perempuan yang menjadi istri dengan kewajiban tertentu sebagai takaran ideal. Suami menjadi mandek dalam mendasarkan dirinya sebagai penerjemah nilai-nilai kepemimpinan dalam segala kondisi yang pasang surut yang dialami umumnya di dalam kehidupan rumah tangga.

Nilai karya sastra Jawa selanjutnya tidak sekadar menjadi kamuflase hafalan, penghargaan nonaktif, alias sekadar pengenalan belaka bagi masyarakat Jawa khususnya, juga masyarakat Indonesia umumnya yang seharusnya pandai-pandai memperbandingkan nilai dari masa ke masa. Leluhur sudah membangun pondasi bermasyarakat, dimulai dari rumah tangga. Maka tanggung jawab kita adalah tidak melancarkan perlawanan tradisi yang baik, tidak pula menghancurkan nilai mitos negatif, namun memperbaiki dan bahkan bertanggung jawab pula mengembangkan nilai kesusastraan klasik tersebut sesuai dengan tuntutan jaman ke depan yang makin menantang. Selamat berefleksi, semoga bermanfaat.



Medan, 26 Juni 2011.








Sumber Ilustrasi:
http://kaskusnews.us/wp-content/uploads/2010/07/34s08p3.jpg


ESAI*

Judul:

WAWASAN KREATIF DALAM DUNIA PUISI

(Esai ini disarikan dari buku “Sejumlah Esei Sastra” karya Dr. Budi Darma, MA. dengan penyesuaian sewajarnya).


Oleh: Muhammad Rain



Membentuk nilai dan mewariskan nilai merupakan dua hal berbeda. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai sastra, nilai kreatif berupa hasil wawasan seorang pengarang puisi. Membentuk nilai merupakan hal tak mudah dan perlu intensitas lebih. Bila dibandingkan dengan mewariskan nilai, maka kegiatan berkarya hanya berhasil pada sisi apresiasi, penghargaan terhadap pekerjaan-pekerjaan nilai yang sudah ada.

Membicarakan wawasan kreatif, kemampuan setiap pengarang memiliki jarak pencapaian masing-masing. Sebagai bagian dari masyarakat sastra, anggota masyarakat yang lebih luas di luar konteks bidang sastra belaka, bahkan sebagai pribadi, pengarang secara umum telah memperoleh inspirasi yang sama dengan masyarakat. Akan tetapi William Blake (63:1984) mempunyai pandangan dari segi yang berbeda. Dengan hanya memiliki kepekaan sosial dan kehendak untuk memperbaiki tata kehidupan, seorang pengarang hanya mampu menulis mengenai keadaan sehari-hari tanpa nuansa apa-apa. Tulisan semacam ini akan mirip dengan pikiran pembaca di koran mengenai fakta-fakta sosial. Dunia pikiran orang kebanyakan. Dari segi moral karya mereka memang baik, akan tetapi pembaca yang baik tidak mungkin tertarik. Pembaca yang baik tidak ingin diperlakukan sebagai orang dungu yang perlu dinasehati.

Menurut Rogen Fry (64:1984) dalam “The Artist’s Vision”, seorang seniman mempunyai kemampuan untuk membuat jarak dengan benda-benda yang akan digarapnya. Dengan kemampuan ini dia sanggup mengangkat apa yang tidak diperhatikan oleh orang lain menjadi suatu yang menarik. Kemampuan inilah yang dinamakan wawasan kreatif, yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Sementara itu, kebanyakan pengarang kita kurang memiliki wawasan tersebut.

Selain bakat, sikap juga menentukan wawasan kreatif. Sikap terlalu menginginkan hati pembaca benar-benar menjalar di sini. Seperti yang diimplikasikan oleh Goenawan Mohammad dalam Seks, Sastra dan Kita, sastra kita bersifat “Self-concious”. Kesadaran pengarang yang terlalu besar akan aspirasi masyarakatnya menjadikannya berlebih-lebihan, kurang wajar atau diam. Mereka meneriakkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu mereka teriakkan. Sebaliknya, karena ketakutannya menyinggung aspirasi masyarakatnya, mereka diam mengenai persoalan yang seharusnya mereka garap. Di samping itu, moral bukan kegiatan verbal semata-mata, meskipun yang diverbalkan adala moral yang bagus-bagus.

A. Teeuw malah berpendapat lebih ekstrim, “Puisi modern justru tidak member pelajaran apa-apa lagi secara langsung.” Amanat memang ada, akan tetapi proses untuk mencarinya “memerlukan lebih banyak "sophistication", kenjlimetan, (dan) pengetahuan yang lebih luas.” Sebetulnya, bukan hanya pembaca yang dituntut untuk memiliki kemampuan “sophistication” untuk mencari moral atau amanat karya sastra, akan tetapi juga pengarang dalam menyampaikan moral atau amanatnya itu. Pengarang yang baik dapat mem-“sophisticate”-kan penyampaian moralnya, seperti yang kita lihat dalam karya-karya sastra yang monumental.

Selanjutnya dalam buku “Sejumlah Esei Sastra” karya Dr. Budi Darma, MA. Terbitan PT Karya Unipress, 1984 disampaikan juga jawaban-jawaban tentang bagaimana “sophistication” bisa lahir dan bersinergi dari hasil wawasan kreatif pengarang terutama dalam penyampaian moral berupa amanat suatu karya sastra. Kemampuan memancing pembaca untuk mau menggiatkan jalan pikirannya dalam menangkap nilai kreatif sang pengarang justru menjadikan dunia apresiasi tumbuh kembang, proses penggalian potensi nilai-nilai karya sastra dari bacaan mereka kemudian menjadikan karya pengarang dengan sendirinya fenomenal dan layak disebut bermutu tinggi. Hal ini tentu berbeda ketika pengarang sekadar mencatut ulang kenyataan tanpa memiliki teknik dan wawasan kreatif yang seimbang agar sastra memiliki perkembangan yang lebih dapat diharapkan. Persis.

Dunia puisi hari ini tentu berbeda jika kita bandingkan pada masa yang sudah-sudah. Puisi menjadi bukti bahwa nilai praktis dan keintimannya dengan tema yang disampaikan di masa sekarang semakin beragam. Para pengarang memiliki ruang lebih luas untuk menyuguhkan nilai yang berhasil ia tangkap lewat beragam media. Kejelian menawarkan tema-tema baru dan ekslusif dapat juga mereka peroleh lewat kesempatan membaca banyak puisi yang sudah tertayang atau tercetak itu. Potensi benturan tema sesamanya, kehadiran komunitas sastra dan persaingan kreatif dengan sendirinya akan mengantar wawasan kesusastraan pada diri masing-masing penulis.

Menyangkut nilai moral dalam sastra, Budi Darma membedah pula dalam isi bukunya berupa nilai humantit dan nilai kreativitas. Bentuk pengucapan yang “humanitat” menurutnya selalu terdapat dalam filsafat, seni dan agama. Pengertian nilai Humanitat itu sendiri sering mengalami perubahan, sesuai dengan keadaan jaman dan tergantung pula pada siapa yang mempergunakannya. Mengutip pendapat Immanuel Kant, dulu “humanitat” secara umum dimaknai sebagai sopan santun atau tingkah laku yang baik. Bagi Kant sendiri perkataan “humanitat” mempunyai arti yang lebih luas dan mendasar: manusia mempunyai prinsip, yakin akan kebenaran prinsipnya, akan tetapi akhirnya manusia harus rusak menghadapi penyakit dan binasa melawan kematian. Implikasinya adalah bagaimana kita memanfaatkan sisa-sisa hidup kita untuk melaksanakan prinsip kita. Tentu saja prinsip di sini adalah yang sejalan dengan kepentingan moral.

Nilai puisi memiliki tuntutan standar yang adiluhung dengan sendirinya menuntut bentuk pengucapan yang adiluhung pula. Tuntutan standar nilai kreatifitas adiluhung ini menjadi batu sandar bagi pertumbuhan karya sastra yang hendak diciptakan pengarang. Batas-batas yang selanjutnya dapat diserupakan bagai menaiki anak tangga adiluhung itu sendiri. Seni selanjutnya dianggap sebagai suatu bentuk pengucapan yang paling menonjol dalam “humanitat” dibandingkan filsafat dan agama. Menurut J. Bronowski dalam Creativity, pencapaian manusia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu “creation”, “invention”, dan “discovery”. “Creation” atau kreativitas adalah pencapaian dalam dunia seni, “invention” dalam dunia ilmu pengetahuan dan demikian juga “discovery”. Di antara ketiga pencapaian ini, yang paling murni adalah kreativitas.

Berbeda dengan “invention” dan “discovery”, kreatifitas bersifat sangat personal. Marilah kita bayangkan, William Shakespeare meninggal sebelum sempat menulis Othello. Kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi: tidak akan ada satu orang pun yang akan dapat menulis Othello seperti yang ditulis oleh Shakespeare. Othello yang ditulis oleh orang lain pasti akan mempunyai corak lain, yang berbeda dengan corak khas Shakespeare. Karena itulah kreativitas mempunyai sifat yang sangat personal, yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.

Dengan demikian nilai-nilai personal adalah pencapaian tertinggi dari suatu kinerja berkarya sastra. Keefektifan yang berhasil dicapai oleh seorang pengarang bahkan calon pengarang diawali dari menemukan nilai-nilai personal yang telah ada dalam dirinya, meskipun hal ini tanpa didukung adanya nilai bakat maupun darah seni dari keturunan pengarang-pengarang itu. Selanjutnya dalam proses menghasilkan puisi yang baik dan bermutu, penulis harus mampu menyisihkan keberagaman seni kepenulisan masing-masing pendahulunya, mereka yang telah memiliki nilai personal secara kreatif itu harus mampu dijadikan model pembanding, bukan justru sebagai model apresian, model plakat dan cenderung selanjutnya mengepung pengarang-pengarang muda terus berada dalam lingkaran-lingkaran nilai yang telah ada diciptakan oleh pendahulu mereka. Bukan justru menciptakan nilai baru, personaliti murni dan mataperah potensi kreatif orang lain. Mereka para pengarang yang ketika disebut nama dirinya telah berada dalam kesusastraan yang berhak.








Sumber Ilustrasi:

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=192088424223239&set=a.110808822351200.15291.100002662498266&type=3&theater



SEKAT-SEKAT JUDUL DAN TEMA

*KRITIK SASTRA, Muhrain



Oleh: Muhammad Rain

Berikut pandangan Kritik Sastra Puisi terhadap puisi Sahabat kita Lindu Wisanggeni



NOCTURNO 1/3 MALAM


Oleh: Lindu Wisanggeni




wahai pemuja keindahan

tidakkah engkau mengeja matahari

membaca rembulan dan bintang-bintang,

tanpa prasangka.



basuhlah kaki musuhmu dengan madu

singkirkan segala hasrat empedu

meski bercerai atau bersatu

kita hanyalah debu dibagi seribu

(Surabaya, November 2011)



Secukupnya puisi ini telah berkabar tentang sebuah ungkapan hati sang penulisnya, ungkapan itu telah sampai namun tanpa di awali tajuk yang mumpuni, kami (saya wakilkan pembaca) kehilangan tajuk yang semacam pancing demi tertelan dan tertarik dijeratan kata-katamu. Tajuk/judulmu "NOCTURNO 1/3 MALAM" itu cukup menguras kening. Ada semacam kesan pemilihan judul yang kurang tertata mewadahi isi.

Betapa judul menjadi perkara yang tak asing dalam menulis jenis manapun karya tulis. Hasilnya pembaca menjawab sendiri tanyanya dengan terus mengulang-ngulang bacaan dua bait saja isi puisimu. Isinya sudah lengkap dan pembaca telah tersarung dalam gerabah berisi hasil tangkapan bacaanmu ini. Itulah sebabnya pembaca tetap membelamu membaca terus puisimu, karena mereka suka umpan-umpan kata-katamu, meski akhirnya tak tahu tak sadar pula mereka kehilangan alamat, hendak di bawa kemana keseluruhan isi.

Sekarang kita melangkah pada dua bait yang saling "ngobrol, ngoceh" sendiri-sendiri. Bait pertama menegur kehadiran seseorang yang bermakna di sini seolah perkataanmu pada penyair, penyair yang disuruh membaca pesanmu ini, wahai penyair, tidakkah engkau mengeja matahari/ membaca rembulan dan bintang-bintang/
tanpa prasangka. Pertanyaan ini tak ada jawabannya dari bait itu, pembaca (penyair yang membaca) harus jawab sendiri tanyamu, itu suatu yang demokratis tentunya.

Bait terakhir, bait kedua sebagai penutup, di sini teramat jurang pemisah antara bait sebelumnya dengan dirinya. Kali pertama ia bertanya pada pembaca, kali berikutnya ia memberikan anjuran, (anjuran masihkah kepada subjek pada bait pertama: penyair/pembaca yang penyair itu), mengapa penyair punya musuh? lalu mengapa seluruh bait kedua itu semacam ending kehilangan dan pendebuan ungkapan-ungkapan yang dimintakan arti sebelumnya, bait kedua ini begitu bersitegang bahkan membunuh bait satunya, ia kehilangan pegangan nasehatnya, kehilangan tujuan awalnya yang hendak menasehati pembaca penyair itu, ia ingin menyatakan ternyata kita hanya debu, lalu buat apa menasehati terlalu sibuk, terlalu berandai kita itu berharga, jangan merusakkan semesta.

Kesetiaan, saya ulangi.. kesetiaan dalam menulis itu sungguh penting. Pembaca menuntut penghargaan tiada banding dari diri si penulis puisi yang dibacanya. Pembaca tak ingin diangkat lalu dicampakkan seketika, penulis perlu yakin akan ucap lakunya bahwa dia datang untuk pencerahan jiwa si pembaca, ia menilai hidup lalu menawarkan hasil nilai itu dengan membalutnya lewat kata-kata. Kemudian eksistensi dua bait itu terus menjadi dilemahkan akibat ketidaksinambungan tema, judul tak memagar kuat agar sang puisi tidak semacam khabaran angin lewat.

Demikian Saudaraku, aku juga menulis banyak puisi, ingin juga dikupas meski tak selemah kupasanku ini. Harapan kita sama, belajar terus dengan sokongan apresiasi positif tiap ada kesempatan, terhadap pencapaian-pencapaian nilai sastra yang memang sangat memungkinkan bila seluruh penyair baru bersatu. Salam Apresiasi Sastra dari Acehmu.

Muhrain.










ASYIFA DAN JARI MANIS KEKASIH

Oleh: Nakrang Paslimko


... Jari manismu ternyata mulai
genit. Mendandan diri ia
hampiri aku sesaat lalu sedikit
mencomot hatiku, hanya sedikit.
"Kapan datang? Ibu selalu menitip salam."

Jari manismu tersenyum manis,
bulan depan tanganku bergaris
dan jangan sekali-sekali kau
menggelar tangis.


16 Februari 2011 Jam 01:21 WIB.


Sumber Puisi:

http://www.facebook.com/notes/nakrang-paslimko/asyifa-dan-jari-manis-kekasih/193807373977420?notif_t=like



GAUNG APRESIASI MUHRAIN


Satu kata saja yang cukup merusak yakni kata 'menggelar', sedangkan yang lain sangat baik terutama pengakhir bait pertama, sebuah tanya yang cukup mempengaruhi nada suasana penciptaan imajinasi dalam puisi ini.

Kata-kata dalam puisi umumnya bermakna lugas dan sering dipakai dalam keseharian kecuali usungan simbolisme dari kata 'jemari' yang di sini bermakna ikatan cinta.

Penulisan puisi selalu mempertimbangkan rima-irama dan pencitraan serta pemadatan kata yang terlihat baik dalam puisi ini. Kepadatan dan penyerapan pengalaman penulis telah berangkul paud dalam dua bait saja. Puisi pendek yang secara umum berhasil.

Salam apresiatif.
(Muhrain).








EMOSI

Ditulis Oleh: Ruchyati Rohadi


...
Sebuah kata jadi dua
Dua kata jadi empat
Empat kata jadi delapan
Lalu semakin cepat jua kata memanjang
Terburai, dan kusut tak tentu
mana ujung,mana pangkal

Kini bara jadi merah
Asap putih semakin hilang
kemudian bara jadi kobaran
Dan hati kering dalam panggangan


1977


Sumber Puisi:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=440175326472



GAUNG APRESIASI MUHRAIN


MENULIS EMOSI TANPA EMOSI

Puisi 'EMOSI' yang terdiri dari dua bait di atas menjadi kesukaan saya dalam membaca karya ini. Karakter penulis Ruchyati di puisi ini tampil sinergi dan menjadi kepekatan tersendiri dalam upaya baca dan gali potensi yang dimiliki dua bait tersebut. Sepintas seolah tempak sederhana saja, bait pertama diawali permainan kata: "Sebuah kata jadi dua/ Dua kata jadi empat/ dst" sebagai gambaran betapa emosi seseorang dapat melahirkan begitu panjang kata yang "Terburai(, dan) kusut tak tentu". Bait pertama ini tampak sekali kefahaman Saudari penyair dalam mendeskripsikan bagaimana laju emosi yang mengalir lewat kata-kata.

Bait kedua sekaligus penutup menjadi seolah simpulan dari perjalanan emosi yang menyesakkan kata-kata. "Kini bara jadi merah", baris pertama bait kedua ini menggambarkan bagaimana kepekatan amarah 'yang memerah" dari yang sedang terbius "emosi" tersebut. Lalu "Asap putih semakin hilang" menggambarkan bagaimana hilangnya kesuciaan "simbolik putih" yang disebabkan bisikan iblis yang selalu meracuni manusia "emosional". Lalu dua baris terakhir menjadi klimaks tentang betapa sia-sianya orang yang dikuasai emosi tersebut, "kemudian bara jadi kobaran" di dalam pengaruh emosi yang makin tinggi itu hati semakin terbakar, pikiran menjadi tak dapat lagi mengemudi-kendali batin seseorang yang emosi. Lalu "dan hati kering dalam panggangan" inilah realita yang amat tak menguntungkan orang yang dikuasai amarah, pergumulan kemarahan yang membuat hati kering, panasnya kebencian seolah memanggang seluruh tubuh dan habislah kebaikan seseorang tersebut jika hati telah kering.

Sesederhanapun kata-kata yang dipilih (diksi) penulis puisi "Emosi" ini, namun dalam menyampaikan maksud yang pekat di atas telah dapat menoreh pemahaman utama dari siapa pun pembaca puisi ini. Mungkin gambaran kesederhanaan gaya kepenulisan Rochyati yang juga tampak dalam judul puisi lain yang disertakan di sini dapatlah dianggap ciri keunikkan (kekhasan) Rochyati dalam berkarya.

Terima kasih saya sampaikan kepada Pak L.K. Ara yang telah memperkenankan saya memperoleh baca dan manfaat di balik puisi-puisi Ruchyati Rohadi. Selamat terus berkarya buat kedua Sahabat Sastra saya ini. Salam bahagia dari Langsa (Aceh).



Biodata Ruchyati Rohadi
Lahir di Jakarta, 15 Juni 1955. Selepas SMK melanjutkan ke IKIP Jakarta jurusan Ekonomi Perusahaan. Kemudian bertugas mengajar di SMK N 17 dan SMK PGRI 29. Karya puisinya pernah dimuat di Tabloid Nairasaon.



(19 Agustus 2010, 11:30 WIB)


Sumber Apresiasi:
http://www.sastramuhrain.blogspot.com/

*Ruchyati Rohadi memiliki adik kandung bernama Rochyana Rohadi.Lihat Selengkapnya









Luka di matamu
Oleh: Noerolandra Surya


Luka di matamu itu
... Yang telah lama kau serut
Ingin kusembuhkan
Dengan bisa dihatiku

Apalagi ingin kau nanti
Lumer darah telah kering
Mengecut hari-hari
Sedang ciuman kusedia

Tataplah hamparan telaga
Bening menyimpan luka
Segala mata yang entah
Terpiak masa yang sudah
Matahari memburat hati

Dari luka dimatamu itu
Gurit cinta telah kusemat
Menjelma air mata
Menjelma pucuk angan
Oh, meriap kau di hatiku


Tuban, pada 03 Maret 2011 Jam 13:46

Sumber Puisi:
http://www.facebook.com/notes/noerolandra-surya/luka-di-matamu/145967122132162?notif_t=note_tag


GAUNG APRESIASI MUHRAIN
Luka Mata Kekasih, Luka Mata Diri


"Luka di matamu", judul sajak ini bernada kesedihan. Bait-bait dari pembuka seterusnya sampai penutup menggambarkan mata yang luka, mata "kekasih" aku lirik yang hendak menyembuhkan luka sang kekasih. Beberapa diksi menarik dan segar dapat kita temukan dalam puisi bung N. Surya ini antaranya:

*telah lama kau serut
*terpiak masa yang sudah
*gurit cinta telah kusemat

Di samping adanya kebaruan pengucapan diksi-diksinya, N. Surya sedang mengajak kita ikut larut mengkhidmati luka mata kekasihnya, ke dalaman yang memupuskan jarak antara jiwa pembaca dengan jiwa sipenulisnya untuk utuh merasakan. Keutuhan dalam mengajak ikut merasakan luka terlihat dari penggunaan kata-kata konkrit Saudara kita ini yakni "lumer darah telah kering", penulis mengajak kita seolah melihat situasi luka yang perlahan mengering tersebut. Luka hati kekasihnya.

Ke empat bait puisi yang tergolong pendek ini secara keseluruhan sangat dipertimbangkan dalam penghadirannya, sehingga puisi yang mempertimbangkan sajak (bunyi akhir) mampu digarap secara cermat dan menjadikan puisi "bunyi", bunyi dari suatu relung jiwa yang hendak dicurahkan lewat bahasa sastra, indah dan sentimentil. Resonansi bunyi i-i-i-i yang terhampar luas di berbagai bait maupun larik semakin mempengaruhi nada suasana puisi ini, dan akibatnya niat memunculkan kesan sedih sajak ini berhasil diterapkan oleh penulis.

Kesedihan sesungguhnya sedang diusahakan agar perlahan menjadi reda, dengan menawarkan beragam kata yang mengandung nilai rasa ketegaran, perhatikan:

*Ingin kusembuhkan
Dengan bisa dihatiku

*Sedang ciuman kusedia

komponen yang dapat dianggap sebagai antiklimaks rasa luka sang kekasih terlihat pula di bait penutup puisi Sahabat kita ini:

*Dari luka dimatamu itu
Gurit cinta telah kusemat
Menjelma air mata
Menjelma pucuk angan
Oh, meriap kau di hatiku.

Rasa kesedian menampung luka si aku lirik secara tak langsung sedang mengajak kedukaan perlahan reda, untuk kesalingan rasa, aku lirikpun bersedia ikut "meriap" merasakan apa yang kekasihnya rasakan.

Secara keseluruhan puisi ini tak lain untuk menghibur segala hati "para pemilik kekasih" agar mampu merasakan duka orang yang dikasihinya, dan tidak mudah sebenarnya memunculkan empati yang universal, namun sebab puisi ini bertema "cinta" maka kehendak mengangkat nilai personal yang otonom dari diri penyair dapat diteruskan secara mulus lewat teknik penciptaan puisinya karena nilai-nilai cinta bagi pembaca awam sekalipun tentu dapat dikenali dan dicermati. Makanya kesimpulan saya terhadap puisi ini cukup berhasil dan punya nilai yang baik di mata pembaca puisi seperti saya. Konon, kebanyakan membaca puisi dapat membuat orang berhati-hati pada jenis puisi biasa dengan tak terlalu mengambil ruang insting/imajinasi dalam meresapi nilai-nilai puisi yang kelewat biasa. Syukurlah saya menikmati puisimu dengan tanpa sia-sia.

Salam apresiatif dari Langsa (Aceh).
Terus menulis ya .. Sahabatku.


Muhrain.






PUSARA

Oleh: Yazid Musyafa


...
Kakikakinya di dalam tanah. Tangannya memuji burung, menyebut pagi dan membentang sayap dari atas pekuburan mengepakkan beban kesedihan pada suara angin yang berjalan di gunung, mewahyukan rahasia kematian pada kelapangan dada.

Lalu ia berjalan menjejaki jalanan ilusi, melihat selamanya, mengolok bibir tersenyum usai dunia mengamuk lautan di dada, untuk cinta di bulan. Requiems dinyanyikan paruh kesedihan pada penjuru mata angin, terbutakan gema fajar muda dari mata keraguan dan khayalan malam.

Pusara masih utuh, memikat hati harapannya. Air mata berdiri kaku untuk menyambut kedatangan.


Pada 2 Maret 2011 Jam 20:37


Sumber Puisi:
http://www.facebook.com/notes/yazid-musyafa/pusara/10150441000760425


GAUNG APRESIASI MUHRAIN

Narasi Serius yang Main-main



Puisi Pusara tampak sekilas sedang secara ringan ingin dihadirkan ke kawasan imaji pembacanya, Yazid bahkan membubuhi beberapa diksinya dengan kesan bermain-main kata. Maksudnya tak lain ingin menguji kesadaran terhadap tema "kematian" itu sendiri dari calon pembacanya. Mengapa saya menyebut calon pembaca, sebab bagi pembaca yang komprehensif dalam menghadapi sebuah puisi, ia tak boleh hanya termangu-mangu bermain di luar konsentrasi proses penciptaan kesan persajakan yang ditawarkan penyair. Ia yang serius membaca tak akan semena-mena mengevaluasi secara sekilas pintas belaka saja terhadap apa yang ditemui dari sajak yang dihadapinya.

Main-main kata "diksi" dapat kita cermati dari uraian berikut:

*Tangannya memuji burung

cuplikan bait pertama ini terkesan diluar logika sederhana sekalipun, sebab bagaimana kematian yang tangannya tak lagi merdeka, yang kakinya tertanam tanah "Kakikakinya di dalam tanah" dengan gaya ringan dan main-main tampil tanpa gejolak dalam rangka proses pembacaan.

*mengolok bibir tersenyum usai dunia mengamuk lautan di dada

cuplikan bait kedua ini kembali lagi, Yazid dengan piawainya menyuguhkan diksi puisi yang terkesan gurau dan lagi main-main, Penulis yang suka bercanda lewat kata ini begitu lancarnya menubikan kata yang selintas biasa dan tampak layak air tenang tetapi padahal ia sedang menguji relung kesadaran pembacanya. Bibir si yang mengalami kematian seolah tersenyum meskipun dada kehidupan di dunia itu sendiri banyak yang mengamuk, tak siap dengan kehadiran kematian.


Di bait terakhir puisi yang terpola naratif ini mari kita lihat keseriusan tipografi Yazid yang semakin terlihat nyata main-main namun amat serius tentunya bagi yang mau lebih jauh menyelami gaya pengucapan/penciptaan sajak ala Yazid. Perhatikan:

*Pusara masih utuh, memikat hati harapannya. Air mata berdiri kaku untuk menyambut kedatangan.

Penyair Yazid menangkap kesan utuhnya suatu pusara, bagai melihat utuhnya takdir akan hadirnya kematian, kematian yang sedari ajjali memang telah menjadi ketentuan nasib yang berhubungan dengan keadaan perjalanan hidup manusia, sesiapa yang hidup pasti kelak menemui mati. Lalu cermati pula "air mata berdiri kaku" yang dengan tanpa kutik "air mata" tak dapat tidak hanya tinggal mengalir saja, siap menerima kematian kapanpun. Siapa yang tak menangis dan haru hatinya ketika menyaksikan kematian datang menjemput?

Main-main dalam proses pelahiran sebuah sajak bisa kita cermati sebagai salah satu cara mendorong munculnya ide penciptaan karya sastra, bukankah kita banyak sekali menemukan metode semacam itu dalam beberapa dekade perjalan kesusastraan Indonesia, namun pola main-main yang sedang Yazid munculkan lewat sajaknya kali ini terkesan ingin menyendiri, ia bermain dengan metodenya sendiri. Pengaruh dorongan filsafat dalam karya Yazid kali ini terasah lebih tajam, bagai melihat kilauan mata pisau yang menyilau dan memainkan lintas cahaya sekilas pada mata pembaca namun yang tertusuk kata terjerembab (terpahamkan) terhadap kehendak untuk menyadarkan. Itu akan jauh lebih menikam, lebih mengendap di jiwa pembaca. Dan seorang Yazid telah berhasil.

Salam Apresiatif dari Aceh.



Muhrain.







Lollapalcoza, 2

Oleh: Nella S. Wulan


... berawal september. empat lima bulan berselang, bersirobok
pandangku mencium angin. 'keadaan membaik, yang amat baik'.
sebab kata adalah doa. pena melantun dari lompatan dingin
tumpukan impian. dan beginilah imaji merekam daya. dari mem-
baca skema.

lollapalcoza adalah doa kini dan masa depan. nafas kita untuk
bumi seisinya. menyimaknya dari bibir bibir mereka pemikir
bangsa, menggetar indah. menenangkan. menyimaknya dari
panggung lazuardi award serupa lontaran cinta. pemain bola
teriakkannya di lapangan bola pun sontak harubirukan lapang
nadiku. lollapalcoza! tak terengah lagi lajunya mencetak gol!
menangkup tangan bertutur syukur.

ketika leluhur siduru airmata, lalu pekik pun memalung relung ,
berairmata. cinta, duniaku lollapalcoza!

*****
bdg, 21 Pebruari 2011



GAUNG APRESIASI MUHRAIN

Doa Antara Riuh Pena dan Bola



Bagi pembaca seperti saya, simbol “Lollapalcoza” yang sekaligus dijadikan judul puisi Nella S. Wulan kali ini lebih terdengar semacam suara menggema di tengah keriuhan. Keriuhan yang bernilai positif tentunya, sebab penulisnya sedang berpesta dalam menciptakan semangat baru, berupaya menghadirkan nilai positif dari kehadiran dunia “Pena” dan dunia “Bola”. Dua tema ini (Pena dan bola) dapat kita cermati dalam cuplikan larik puisi bait pertama ini sebagai berikut:


…pena melantun dari lompatan dingin
tumpukan impian….

Kita cermati betapa tenaga kepenulisan, tenaga pena dan ruang yang padat dalam menciptakan banyak harapan (tumpukan impian) telah membuat dunia menjadi berbeda, tidak kehilangan keinsyafan kehidupan melulu praduga. Di bait pertama ini Nella sedang mengajak pembacanya menghayati betapa dunia pena mampu merekam tenaga, daya untuk segala harapan kehidupan itu sendiri, perhatikan:

… imaji merekam daya. dari mem-
baca skema.

Dalam penutup bait pertama ini, penulis sedang semangat-semangatnya mengawali pengantar puisinya tentang suatu dunia berkarya, menulis dan menyatakan pemikiran lewat karya tulis. Sebab bagi penulis puisi ini, dengan menulis, maka kehidupan yang terhampar itu seolah sedang ditimbang baik buruknya, dijadikan semacam ancang-ancang, penulis menutup bait dengan kata-kata:

….dari membaca skema.

Maka tampak sekali bagi kita yang membaca puisi ini bahwa Nella sedang menawarkan pembacanya tentang kebaikan-kebaikan suatu bahasa pena, yang baginya dianggap pula bahasa doa:

… sebab kata adalah doa…

Telaah terhadap dunia menulis yang saya kira tidak sembarangan, asbun dan sekedar mencoba-coba berfilsafat belaka, sebab dengan cuplikan larik-larik puisinya, Nella sedang menawarkan suatu pemikiran yang utuh.


Beranjak ke bait kedua, kita semakin menikmati pola, bentuk pengucapan yang lebih dikenal sebagai tipografi (perwajahan puisi) yang lebih terkesan semacam cuplikan-cuplikan pemikiran penulis yang seolah sedang bermonolog, menyatakan pendapat-pendapatnya secara alami, mengalir tanpa hambatan berarti. Penulis tetap komitmen mengembangkan bait kedua ini dengan prilaku puisi yang tampil beda dibandingkan model penulisan puisi saat ini. Puisi ini cenderung mengabaikan fungsi tanda titik sebagai tanda berhentinya suatu kalimat/larik. Biasanya tanda koma mampu menggantikan upaya menghentikan sementara pengucapan-pengucapan suatu bahasa. Namun Nella tidak sedang menulis karya ilmiah, sebab itu sah-sah saja ia melakukan pelanggaran penggunaan tanda baca semacam ini, sejauh dianggapnya mampu meningkatkan nilai sebuah karya puisi. Nilai yang nyata dari pembubuhan tanda titik dalam puisi ini lebih kepada penciptaan cuplikan-cuplikan semacam puccel yang pada akhirnya akan membuat bulat dan utuhnya suatu pemikiran.


Perayaan akan sebuah pemikiran tampil dengan menyebut-catut suasana pertandingan bola, penulis sedang mengajak pembaca untuk merayakan kebeningan pemikiran yang ditawarkan olehnya, tema bola tanpa canggung begitu segar hadir dalam bait kedua puisi ini, perhatikan:

…pemain bola teriakkannya di lapangan bola pun sontak harubirukan lapang
nadiku…

Tergambar suasana teriakan di tengah lapangan setelah gool berhasil dicetak, setelah suatu pemikiran mampu memecahkan kebuntuan kehidupan, korelasi antara peristiwa bola yang glamour selanjutnya begitu gampang dan lapang dihubungkan Nella ke ranah kehidupan yang lebih luas, kehidupan yang sebenarnya, yang banyak menyita para pemain saling sikut, saling serang demi keberhasilan yang dicita-citakan.


Teriakan lollapalcoza yang sedari judul sudah ingin digambarkan oleh penulis puisi ini selanjutnya diterakan pada baris penutup bait kedua, perhatikan:

…lollapalcoza! tak terengah lagi lajunya mencetak gol!
menangkup tangan bertutur syukur.


Merayakan kehidupan dengan penyimbolan kata Lollapalcoza, tentang sebuah kegembiraan hasil suatu perjuangan. Lalu kita bisa dengan yakin terhadap pernyataan-pernyataan penulis puisi ini sejak dari awal perjalanan bait pertama juga bait kedua, agar pada akhirnya kita mampu memahami mengapa segala sesuatu penting untuk dirayakan, sebagaimana kehidupan itu sendiri. Menikmati kehidupan salah satunya adalah dengan mensyukuri dan merayakannya.


Selanjutnya, penulis ini menutup bait akhir puisinya dengan menyatakan mengapa kita harus merayakan kehidupan, bukankah kehidupan sejatinya adalah bekal perjuangan yang telah diusahakan oleh para pendahulu, oleh para pakar yang telah pengalaman, kehidupan adalah sesuatu yang tak bisa ditampilkan jika terlepas dari masa lalu, kehidupan tak bisa ada tanpa proses-proses awal yang telah dimulai oleh generasi terdahulu. Mari kita cermati intensitas daya ungkap Nella yang semakin baik di bagian akhir puisinya ini:


ketika leluhur siduru airmata, lalu pekik pun memalung relung ,
berairmata. cinta, duniaku lollapalcoza!

Yach… Lollapalcoza! Suatu intensitas daya ungkap merayakan yang pas versi Nella, kita yakini penulis ini sedang benar-benar bersemangat menggairahkan suatu penghargaan terhadap kehidupan. Lewat penghadiran dua tema: pena dan bola, saya kira cukup menjadi cerminan bagi pembaca puisi ini untuk tak lagi menyiakan keadaan dan merasa tak beruntung. Sebab setiap yang hidup tentu masih bersama dengan kesempatan dan kesempatan inilah yang harus kita rayakan dengan bijaksana, dengan menghargai kehidupan itu sendiri. Patut bagi kita mencermati puisi semacam ini, selain tampil baru dan tidak terlalu memaksakan penggalian-penggalian terlalu dalam terhadap sebuah tema kepuitisan, tidak berpura-pura berfilsafat dan seolah paling banyak mampu memberi penawaran pemikiran. Seorang Nella dalam kesederhanaan, seorang manusia yang mampu berpikir bijak, mengecilkan perkara besar yang sejatinya remeh dan menghapus perkara kecil tanpa ada arti. Ya.. tentu… Lollapalcoza! Selamat berpuisi Nella. Salam apresiatif dari Aceh.



Muhrain








JENG RAMBUT UNGU DAN DARSEM

Oleh: Nella S. Wulan


... apa apa pada segala musim bernasib salju dan sahara
apa apa telah pula kau alami, darsem
di negri orang tak bersanak saudara sebab pasir ilalang
teteskan luka luka tubuhmu
darsem, di mana kau kini ?

temanmu disini meringis, dihinis tetesan di pelipis
kami, dan wanita di komplek tetangga masih sisiri rambut
ungunya yang beberapa lembarnya memutih
kau ditungguinya, darsem
usai pulih hati lara yang memorat marit, datangilah
pemukiman jeng rambut ungu, darsem
kisahkan kabar apa apamu yang takkan lantas melintas
kau rasai serupa beluntas ranggas di rimba bumi
jumpai ia darsem, bila tak lekas, tuliskan saja dulu
larik larik kisah merah hitam putihmu
berikan padanya, ia, wanita berrambut ungu
biarkan ia seksama baca sekasih kisah tabahmu



*****

bdg, 06 Maret 2011



Sumber Puisi:
http://www.facebook.com/notes/nella-s-wulan/jeng-rambut-ungu-dan-darsem/10150162565785752



GAUNG APRESIASI MUHRAIN

Darsem dan Nyeri Jaman di Dunia Perempuan



Ada potensi unsur rima-irama dan persajakan dalam puisi ini. Darsem dan replika lika-liku kehidupan yang dilaluinya dibawakan secara puitis dan penuh pencitraan. Pencitraan tampak dalam memberikan bayangan serupa apakah Darsem yang dimaksudkan, baik fisik dan batin yang ada dalam diri si tokoh Darsem.

Berikutnya saya melihat pemunculan tokoh Darsem lewat puisi ini terlihat bebas ruang, ia bisa berada di dalam maupun di luar diri pembaca juga diri penulis. Nella S. Wulan sedang mengajak kita yang merasa cukup paham dunia perempuan agar mau memberikan perhatian pada tokoh Darsem ini, mau memahami suka dukanya.

Simbolisme perempuan dalam puisi sering dijadikan bahan kajian dalam menelaah model,gaya dan pencitraan sosok perempuan lewat karya sastra semacam puisi, cerpen maupun novel. Nh. Dini misalnya, seorang sastrawati yang sangat potensial dalam menggali peri hidup dunia perempuan dalam kenyataan-kenyataan di dalam maupun di luar diri pembaca bahkan dirinya sendiri sebagai penulis. Dunia perempuan yang sering menghadapi pelecehan terlepas oleh kaum lawan jenis bahkan sekaum dengannya.

Keberadaan perempuan dalam puisi lebih sering terlihat sederhana namun mempesona, hanya saja pesona perempuan lebih dikedepankan oleh banyak penulis puisi perempuan dari sisi batin, kekuatan yang dimiliki oleh jiwa perempuan.

Sebagai karya sastra yang baik, Nella dalam karya tulisnya menanamkan koridor pemahaman yang lebih luas terhadap dunia puisi, meski kali ini kita mencermati tema yang sekaum dengan penulisnya, saya yang turut membaca karya puisinya kali ini tidak menemukan pembelaan yang berlebihan dalam menyampaikan suasana carut marutnya kehidupan dunia perempuan yang disimbolkan oleh Darsem. Selain puisi ini ditulis untuk perempuan-perempuan yang berada di rantau, yang berani mengambil resiko dilecehkan, jauh dari keluarga dan juga menawarkan sisi ketangguhan sosok keperempuanan yang terkadang kaum lelaki pun ada yang tak memilikinya, ada yang hanya lebih sering mempersalahkan keadaan, tak mau memperbaiki nasib diri dan keluarganya dengan alasan beragam. Tetapi pilihan harus ditetapkan, Nella memilih tekad dan optimistis untuk melawan nasib jaman lewat karya sastra puisinya. Darsem dalam dirinya, Darsem dalam kungkungan pemikiran para penjahat klasik, Darsem yang berdiri menantang kehidupannya sendiri di luar negeri.

Selamat menulis buat Nella S. Wulan. Seperti salah satu larik dalam puisinya "setiap kata adalah doa", maka kita doakan penulis perempuan ini makin kreatif dan berjaya. Salam apresiatif dari Aceh.


Muhrain







SAKURA DALAM NYANYIAN SENDU

Oleh: Ayano Rosie


... pagi meminjam mentari dari balik awan
tersenyum menemani kuncup-kuncup sakura
bernyanyi dalam kidung musim semi

nyanyian sakura bersenandung ume
dalam gelombang gemuruh menderu
tersuar-suar rintihan di semi-semi jiwa
pekakkan ketenangan di musim semi

nyanyian sendu dalam lambaian ume
menari-kan serpihan-serpihan luka
gugurkan segala indah sakura
hingga aroma kepahitan menghimpit sang fuji
sakura dalam nyanyian sendu
bergemuruh berbalut luka
sisakan kepiluan di cakrawala merah

sakura meringis dalam guguran kelopaknya
jatuh helai demi helai menguhajam bumi
aroma kematian dan kesedihan
terbang bersama reaktor reaktor kesedihan

akankah sakura kembali melantunkan kidung-kidung indah?
dan ume kembali menarikan tarian-tarian kehangatan
dan sang fuji kembali cerah menerangi cakrawala biru

tapi...
guncangan itu tlah membangunkan samurai
ia tahu sudah waktunya tuk menenangkan nyanyian sendu sakura
ia yakin kidung indah musim semi akan kembali
dan tarian-tarian ume kembali menghiasi langit jingga.


Pada, 22 Maret 2011 Jam 20:30.

Sumber Puisi:
http://www.facebook.com/notes/ayano-rosie/sakura-dalam-nyanyian-sendu/210525082297982?notif_t=note_reply

sumber Ilustrasi Puisi:
http://www.google.co.id/imglanding?q=sakura+dan+bencana+yang+menimpa+Jepang&hl=id&gbv=2&tbs=isch%3A1&tbnid=lanvvE5vT3p6AM%3A&imgrefurl=http%3A%2F%2Ffarisdiggory.blogspot.com%2F2011%2F03%2Fketangguhan-jepang-saat-menghadapi.html&imgurl=https%3A%2F%2Flh5.googleusercontent.com%2F-mG-f9UPPz-o%2FTYLSPKSGRTI%2FAAAAAAAAAFc%2FnuNGM-MpqAk%2Fs640%2Fill_pray_fo_japan_by_erixyao-d3be8q4.jpg&ei=pending&zoom=1&w=452&h=640&iact=hc&oei=k9GKTcH2HozNrQe4zNCoDg&page=7&tbnh=129&tbnw=91&start=88&ndsp=16&ved=1t%3A429%2Cr%3A15%2Cs%3A88&biw=1024&bih=578


GAUNG APRESIASI MUHRAIN

Sakura dalam Nyanyian Sendu Ayano


Suasana yang tergambar di bait awal puisi Ayano sebagai pembuka narasi pagi di musim semi, mentari terbit di balik awan juga kuncup bunga sakura berkidung mengkhidmati semesta. Tampaklah dunia cukup tenang dan menjadi semacam apersepsi dalam mengawali kisah sakura menyanyikan lagu sendu selanjutnya.

Sakura adalah sebuah simbol negeri untuk menggambarkan Jepang, lihatlah kelanjutan senandung negeri ini di bait kedua puisi Ayano. Nyanyian yang berjalan “bersenandung ume” selanjutnya digemuruhi oleh datangnya gelombang (tsunami 2011) yang hadirkan luka rintihan juga memekakkan ketenangan musim semi indah di awal kisah nyanyian ini.

Berikutnya bait ketiga Ayano menambah intensitas luka nyeri negeri yang sedang dilanda bencana ini. Kesenanduan nyanyian diikuti tarian antara serpihan-serpihan luka gugurnya keindahan Sakura menjelma menjadi luka pahit yang menghimpit gunung Fuji yang terkenal di negeri itu.

Penderitaan, kepiluan dan cakrawala merah bunga Sakura yang warnanya memang merah sebagai simbol tepat untuk mencitrakan warna penderitaan negeri termaju di kawasan Asia ini. Sebagai penyimbolan yang koheren sejak awal bait sampai menjelang pengakhir bait, Ayano menafsirkan luka hidup yang sekaligus mentemakan kejadian alam. Puisi dengan demikian menjadi semacam corong memberitakan sejarah suatu bangsa berdatakan kejadian-kejadian yang dialami saat-saat tertentu, baik saat mekar dan tumbuh juga saat terkatub dan tersuruk.

Pada bagian bait kedua dari akhir, Ayano menghadirkan tanya semacam harapan untuk masa depan negeri tersebut. Tentang bagaimana keindahan tarian kehangatan juga segala sesuatu yang seolah memutar balik kepada keindahan semula yang ada di negeri Jepang. Selanjutnya Ayano menutup bait terakhir dengan menyimbolkan semangat samurai sebagai kekuatan perlawanan dalam menghadapi segala ancaman yang kebetulan kali ini diterima dari alam.

Duka dan airmata yang menyertai kisah kehidupan suatu negeri tentu tak mudah disembuhkan dengan segera namun membutuhkan waktu perlahan. Apalagi imbas bencana alam semacam tsunami telah menyentuh kebutuhan-kebutuhan tersedianya energi listrik sebagaimana gambaran larik reaktor nuklir yang disampaikan Ayano. Namun peran sebagai pengingat telah diambil oleh banyak orang termasuk juga Ayano, yakni peran mengingatkan, mengkisahkan juga memberikan kabar dan faedah fakta sejarah tertentu yang melingkupi kehidupan masa lalu manusia untuk dijadikan iktibar dan pembelajaran bagi siapa saja yang butuh. Lalu apakah Jepang hanya butuh puisi? Tentu tidak, Ayano menyediakan puisinya ini pula untuk dibacakan dalam suatu program pengumpulan dana bencana Jepang dan semoga acara sangat berfaedah tersebut berhasil berjalan lancar dengan mengumpulkan pundi-pundi amal dari negeri se-Asia yakni Indonesia.

Ketika seseorang menulis dan berbicara tentang sesuatu yang lebih besar dari dirinya demi kemaslahatan manusia, menjadikan sastra sebagai sahabat dalam mengkomunikasikan kekuatan-kekuatan bahasa sebagai sarana yang lebih luas dari sekedar menghibur maka bentuk-bentuk juga nilai-nilai sastra akan mencapai kemajuan dalam penggarapan dan pengkajiannya untuk manusia sastra itu sendiri. Semoga.

Terus bersastra Ayone, sebab hidup sungguh berharga. Salam cipta sastra dari Aceh.


Muhrain








KELAHIRAN

Oleh: MF

Kujenguk kebahagiaan
... Satu perempuan menjadi ibu
Satu mahluk kecil tercipta begitu lucu
Restu Tuhan, pada sinar matanya yang teduh dan biru.
Ketulusan tangis melerai baris-baris gerimis
Kecupan malam, pelukan ibu
Kegaiban dan keasingan waktu bagi senyummu,
Adalah kerinduan ayahmu.

Hiduplah, hiduplah
Walaupun sendiri...


Pada 22 Maret 2011 Jam 19:45.


Sumber Puisi:

http://www.facebook.com/notes/mohamat-firmandaru/kelahiran/10150114857297966?notif_t=note_reply

sumber Ilustrasi Puisi:

http://www.google.co.id/imglanding?q=Kelahiran+dan+Tragedi&hl=id&sa=G&gbv=2&tbs=isch%3A1&tbnid=Nn49XPXXen2FiM%3A&imgrefurl=http%3A%2F%2Fdekade80.blogspot.com%2F2009_03_01_archive.html&imgurl=http%3A%2F%2F4.bp.blogspot.com%2F_18U6NGz-y0A%2FSdC-f_riblI%2FAAAAAAAAAQc%2FMEgKWoXQJPA%2Fs320%2Ftragedi.jpg&ei=h9SKTcuyKIafca224IQK&zoom=1&w=220&h=320&iact=hc&oei=MdOKTeaQEoiGrAeQwqGtDg&page=3&tbnh=135&tbnw=93&start=34&ndsp=15&ved=1t%3A429%2Cr%3A11%2Cs%3A34&biw=1024&bih=578



GAUNG APRESIASI MUHRAIN

Memaknai Kelahiran


Sebuah perlambangan muncul akibat adanya penafsiran-penafsiran tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Penafsiran kali ini oleh MF yang menulis puisi dengan judul “Kelahiran” untuk melambangkan makna kelahiran itu sendiri. Kelahiran bagi MF tidaklah sama sebagaimana penafsiran kalangan umum dalam ranah kehidupan yang lebih luas.Terutama yang menyangkut kelahiran di tengah suatu tragedi. Mengapa kita menemukan tragedi dalam tulisan puisi pendek ini? Untuk mendapat jawabannya, mari kita simak tiga bait saja yang tertera dalam puisi tersebut.

Bait pertama, penulis membuka puisinya dengan suatu siratan kebahagiaan. Ia (penulis) datang ke dalam suatu peristiwa bahagia. Sebab secara umum kelahiran pasti mendatangkan kebahagiaan. Generasi baru tumbuh untuk menggantikan/memperbaharui apa yang sudah ada. Bayi yang lahir diidentifikasi oleh penulis berkelamin perempuan. Perhatikan larik kedua bait pertama “satu perempuan menjadi ibu”. Sebab hanya perempuan yang kelak bakal menjadi ibu. Bayi itu begitu lucu dan penulis mendeskripsikan ciri si bayi memiliki sinar mata yang teduh lagi biru. Lalu tak lupa pemaknaan “restu tuhan” oleh penulis dimaksudkan untuk menyatakan bahwa peristiwa kelahiran tersebut tak lain akibat tuhan merestui, membuat dengan kuasaNya sehingga si bayi hadir ke dunia. Dunia yang menerimanya sebagai kebaikan.

Pada bait kedua puisi ini, penulis menyampaikan suasana kehadiran si bayi yang disertai dengan situasi kesedihan secara lebih mengemuka. Pelukisan suasana yang kontradiktif tergambar di larik pertama “ketulusan tangis melerai baris-baris gerimis”. Bayi menangis dengan tulus demi “melerai” situasi sedih yang berisi “gerimis” sebagai lambang duka. Gerimis yang baris-barisnya menandakan dekatnya situasi duka itu dengan si bayi. Alam lewat “malam” mengecup si bayi, mengasihi kehadirannya juga di dalam pelukan sang ibu.

“Kegaiban dan keasingan” (larik ketiga) seterusnya dua kata ini dipakai oleh penulis untuk memperjelas tentang bagaimana suasana “gaib” lagi “asing” telah membangun suasana dengan situasi yang berbeda secara umum. Bayi yang lahir tersebut hadir akibat penciptaannya oleh tuhanNya sebagai makna kegaiban. Tuhan yang member hidup berikut dengan segala proses penciptaan bayi sebagai cikal manusia. Asing dalam pengertian kehadiran di dunia sebagai pertanda alam baru bagi si bayi, sebab sebelumnya ia berada di alam rahim. Bayi yang hadir ke dunia merasakan asing dirinya, merasakan perbedaan yang jauh berbeda dari alam rahim itu sendiri dengan yang sekarang, alam dunia.

“Adalah kerinduan ayahmu”, larik penutup bait dua inilah yang dimaksudkan bahwa puisi kelahiran ini bermakna tragedi. Ayah adalah pasangan sang ibu si bayi, ia tidak berada di sisi si bayi saat bayi lahir, sebabnya si ayah rindu. Rindu ingin bertemu juga tentunya bayi itu sendiri mengiterpretasikan kerinduannya sendiri kepada sang ayah, dengan bahasa bayi bahasa alami yang sulit dimengerti oleh umum selain ibu dan keluarga terdekat sang bayi.

Penulis puisi ini semakin memberikan tanda “tragedi kelahiran” tersebut pada bait penutup puisinya. Ia membubuhkan diksi dorongan bertahan “hiduplah, hiduplah/walaupun sendiri”. Bayi lahir tanpa ayah yang mengasuhnya, membimbingnya demi mencermati kehidupan yang akan mulai ia jalani. Bayi yang sendiri (yatim) tanpa dilengkapi sosok ayah tentu akan berat menghadapi hidup, sebab itu penulis sedang berpesan pada si bayi tentang bagaimana bertahan, bagaimana hidup meski sendiri dan membujuknya untuk terus hidup.

Tragedi kelahiran bayi yang dilukiskan MF lewat puisinya tidak dapat kita peroleh tanpa membaca lebih mendalam terhadap karya puisinya tersebut. Ia (MF) sebagai penulis puisi benar-benar memakai bahasa-bahasa perlambangan dan kiasan demi menghadirkan suatu karya penuh makna dan berbobot. Pola penggarapan puisi semacam ini seringkali tidak siap dilakukan oleh penulis puisi yang baru belajar. Mereka para penulis puisi pemula lebih sering memakai kenyataan-kenyataan di luar dunia puitis selanjutnya tanpa poles sana-sini begitu saja memasukkan secara mentah ke dalam bait-bait tulisannya.

Berkaitan dengan penafsiran kontekstual terhadap makna yang dimiliki puisi, kita sebagai apresiator penting sekali mengkaji puisi sebagai dunia imajinasi yang tampil tidak tanpa tujuan. Sadar dan tidak mudah menyerah dengan menyelami suatu karya yang disajikan hanya di bagian luar atau kulit belaka. Ketika kita berenang dalam keluasan samudera puisi, maka kita hadir sebagai perenang yang andal, tak mudah menyerah dan musti berani mengukur dalamnya pemikiran yang dihadirkan penulis. Penghargaan dan apresiasi dengan demikian turut membantu menyemangati proses bersastra itu sendiri, proses berdarah-darah yang sifatnya positif dan kreatif.

Selamat berkreasi MF. Mewujudkan kemerdekaan berbahasa kita lewat sastra. Salam karya dari Aceh.


Muhrain








KESOMBONGAN HITAM PUTIH POTRET DIRI

Oleh: Muhrain


...
Pagi yang dingin pembuka hari ini datang bersama sajak-sajak panjang maupun pendek karya Sahabat baru kita Arief Mursidi Arief. Di antara sajak-sajak yang tertera itu, Muhrain terpaut pada sajak berikut yang akan kita kupas untuk selanjutnya mengaungi kembali album apresiasi Muhrain yang ini (Gaung Apresiasi Muhrain), setelah lama tidak diisi ulang.


GAMBAR SAHABAT

Oleh: Arief Mursidi Arief


Jas Biru
kumis ringan batu
rindu sepatu.



Sajak Arief yang berjudul Gambar Sahabat di atas rupanya sedang berkisah panjang meski sekilas sangat padat memakai diksi. Arief di dalam sajak ini telah berhasil memadukan nilai estetika puisi sekaligus nilai rasa humor. Mengapa tertera rasa humor dalam sajak ini? Marilah kita simak kejelian penulis sajak ini dalam upayanya mengetengahkan pemikiran dan perasaan dengan cukup bernas.

Bait satu-satunya sajak Gambar Sahabat berisi tiga larik, larik pertama dimulai penempatan imaji visual, Arief mengumpamai jas sebagai pakaian orang-orang tertentu yang secara strata tentu menengah ke atas, selanjutnya kata "biru" pada larik jas biru menyimbulkan makna kebebasan. Seolah-olah dengan mengenakan jas (pakaian kehormatan), seorang sahabat yang sedang "digambarkan" oleh Arief bisa bebas berbuat, bebas sebagaimana langit yang berwarna biru di atas bumi. Pesajak menunjukkan pribadi sahabatnya yang telah lupa akan bumi tempat seharusnya memijak bagi sahabat tersebut, ia (subjek sajak) sedang kehilangan makna dari nilai kehidupan yang seharusnya dipedomani oleh umat manusia seperti pada pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".

Melangkah ke larik ke dua, Arief melanjutkan penggambaran sahabat(-nya) berperawakan kumis ringan batu, semacam perlambangan orang yang mudah mengumbar senyum namun meronakan kesombongannya, alias murah senyum tapi sesumbar. Larik ini terdiri dari tiga kata berbeda dengan dua larik lainnya yang masing-masing berjumlah dua kata. Makna batu berwujud pula sebagai pengandaian bahwa gambar yang dilukisi oleh pesajak ini benar-benar menunjukkan potret kebekuan perasaan. Sahabat yang terpose layaknya konglomerat sombong dan nyaris tak bersikap santun.

Pada bagian larik penutuplah kita sebagai pembaca dapat menemukan nilai humor yang pada dasarnya bertolak belakang dengan rasa kegeraman yang dialami pesajak ini. Simpulan yang tertera di larik ketiga ini menawarkan kompleksitas bumbu-bumbu perasaan sebagai pemandang potret gambar sahabat/pembaca sajak. Arief menawarkan kepada pembacanya untuk berhati-hati dalam memaknai persahabatan. Gagasannya tentang nilai persahabatan lewat sajak pendek ini patut dipertimbangkan oleh segala pembaca, bahwa terdapat nilai-nilai yang harus dipertahankan untuk bisa bersahabat dengan siapa saja. Nilai etika untuk bersikap santun dan tak mengumbar senyum remeh ketika sebagai seorang sahabat bagi yang lain telah berjaya.

Menulis puisi memang dituntut kejelimetan, kerumitan dan kemampuan merajik kata-kata dengan pertimbangan kepadatannya yang terlihat langsung lewat tipografi. Tidak benar jika ada yang menilai baru bermakna suatu puisi jika bait-baitnya cukup panjang, banyak dan kaya akan pemakaian kata. Puisi (sajak) selanjutnya memenuhi tuntutan jumlah aksara yang digunakan oleh masing-masing upaya pengungkapan dirinya sendiri. Kemandirian suatu puisi juga ditentukan oleh komponen hemat beraksara/berbahasa. Puisi memang rumit namun bukan berarti "mustahil diciptakan", buktinya di ruang maya, puisi makin berkembang bercorak ragam, kendati nilai kuantitas masihlah meraja, namun seiring asuhan apresiasi baik diri penulis puisi itu sendiri serta respon di luar dirinya, pada akhirnya nilai-nilai estetika penciptaan puisi akan lebih maju dengan adanya dorongan menulis terus menerus.


Selamat berjuang Arief. Makin kreatif dan pantang menyerah. Salam sastra Indonesia dari Aceh. Terima kasih.



Wassallam.




Muhammad Rain.












Sumber Ilustrasi:

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=102357606548090&set=a.101960593254458.2334.100003215524561&type=3&theater


...



***

IMPIANKU

Oleh: Laila Nur



wahai senja
setiap kutemui engkau di bis
di keramaian kota
di sepi angin pinggiran
kuselalu tenggelam dalam sunyi matamu
dalam keriput jemarimu
tergopoh tersikut angkuhnya riak jaman
kuhanya bisa manggut dengan senyuman

ingin kusenyumi setiap waktu
seperti halnya pada senja-senja di rumahku
senja-senja di pundakku yang mengelilingi
pelipur laraku
penyirna malas-malasku

ingin suatu waktu
terhimpun dalam kandaga
tertera dalam ramah para pembagi rasa
yang di atasnya mengalir tetesMu
mimpiku Kau tersenyum di hari kesulitanku di ujung waktu

Apresiasi Singkat Muhrain

Selamat Laila Nur, dalam puisi kali ini pembaca mendapat suatu renungan yang lepas dan sekaligus lengkap dan memperoleh kepuasaan nilai rasa saat mereka membaca, paling tidak dari seorang pembaca puisi seperti Muhrain. Selamat juga bila dalam menulis puisi kali ini sudah mulai terlepas dari percobaan-percobaan maupun pengaruh dari tulisan puisi yang kira-kira mirip dan mendekati tipografi penulisan karya puisi semacam ini. Puisi refleksi dan memahamkan kepada pembaca apa yang dirasakan sang penulis dalam dunia kreatifnya.

Dilihat sepintas hanya ada beberapa kesalahan dan mungkin bukanlah suatu kesulitan untuk diperbaiki. Kesalahan itu terutama terletak pada pemakaian klitika (kata ganti "ku") yang secara tatabahasa termasuk dalam jenis morfem terikat. Sehingga penulisan yang benar dari kata ganti "ku" tersebut harus lekat serangkai dengan kata yang dimasukinya, boleh di awal kata maupun di akhir kata, namun secara umum lekat serangkai di akhir kata. Meskipun dalam konsep sastra puisi keindahan perangkaian kata-kata bisa saja tidak mengacuhkan/mempedulikan konsensus yang mengatur kaku penulisan bahasa Indonesia, namun dalam puisi konvensional seperti ini, secara sadar para penulis harus mengedepankan bahasa standar dan baku, beda halnya jika ranah yang dipilih itu adalah ranah puisi kontemporer, karena jalur jenis ini membebaskan lebih luas pendirian sang penulis puisi seperti halnya puisi mbeling, puisi konkret dan puisi mantra.

Hasil akhir yang dapat Muhrain sampaikan adalah beberapa kekuatan yang telah dimiliki Laila Nur dalam puisinya kali ini antaranya:

*Pertimbangan repetisi kata yang situasional, bermakna dan memberi pengaruh positif terhadap padatnya nada dan suasana puisi sehingga pembaca mampu merasakan secara jernih perasaan sang penulis.

*Pertimbangan tema, sebab tema yang dipilih sangat dekat dengan keseharian pembaca sehingga pembaca tidak akan mengalami kesulitan besar bila hendak menikmati lebih apresiatif hasil sastra yang telah diciptakan oleh sang penulis.

*Pertimbangan amanat yang secara gamblang dapat sesegera mungkin ditangkap pembaca sebab sebagai nilai sastra yang mengedepankan keindahan, puisi juga mengedepankan kebermaknaan dari sisi kebenaran yang diusungnya sehingga memberikan faedah dalam berbagai kesempatan pengkajian puisi yang dimaksudkan.

*Pertimbangan rima dan irama dari puisi yang tergolong cukup hati-hati dalam penentuan kadar karangan sehingga diksi yang dipilihkan masih dapat melukiskan irama jiwa dan kompilasi bunyi dalam setiap perjalanan bait dari puisi.

Demikianlah berupa apresiasi singkat padat dan semoga cukup jelas buat pembaca komentar yang sesungguhnya amat sederhana ini tanpa mengambil banyak waktu dalam upaya penjabaran hasil seni kreatif sastra puisi di dunia maya ini. Harapan kepada Laila Nur, teruslah menulis dan bebaskan daya kreasimu dengan merujuk apa yang sudah diperoleh sebagai modal dan melangkah ke tangga berikutnya dalam menghasilkan karya makin bermakna lagi di kemudian hari. Selamat berkarya.

Salam Apresiatif dari Acehmu

Muhammad Rain

1 komentar:

  1. TIN NOSE STEREO BET, Titanium Eye stud
    TIN NOSE STEREO BET.TIN NOSE STEREO BET.TIN titanium bolts NOSE STEREO aftershokz titanium BET.TIN titanium plate flat irons NOSE STEREO BET.TIN NOSE STEREO BET.TIN titanium apple watch band NOSE STEREO titanium chainmail BET.TIN NOSE STEREO BET.TIN NOSE STEREO BET.

    BalasHapus